Makalah Sosiologi Politik: Dinamika Sosial Politik Pasca MoU Helsinki

Makalah
DINAMIKA SOSIAL POLITIK PASCA MOU HELSINKI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Kapita Selekta

Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Syiah Kuala



Oleh:
KELOMPOK VI

Muhammad Syawal         (1210101010028)
Frena Shinta Shintiawati (1210101010133)
Marlita                                 (1210101010154)
Dedi Iskandar                      (1210101010012)
Rizal Fahmi                          (1210101010052)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM BANDA ACEH

2015


________________

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Permasalahan

Penandatanganan Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding, MoU) antara pemerintahan RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 5 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia, merupakan peristiwa bersejarah dalam tiga puluh tahun konflik di aceh. Kedua pihak bersepakat untuk melaksanakan MoU Helsinki segera setelah penandatanganan kesepakatan perdamaian itu. Kondisi ekonomi masyarakat diharapkan segera meningkat berbarengan dengan stabilnya kondisi keamanan.

Namun begitu, sejak upaya pelaksanaan MoU Helsinki, jenis konflik telah berubah dari konflik vertikal, antara pemerintah pusat dengan GAM menjadi konflik horizontal antar komponen masyarakat, terutama berkaitan dengan distribusi kompensasi ekonomi bagi mantan anggota GAM dan penguasaan aset-aset ekonomi dan politik oleh para mantan kombatan.

Tak dapat dipungkiri bahwa MoU Helsingki merupakan sebuah anugerah sebagai produk dari hasil perjuangan selama tiga dekade lebih. Satu hal yang sangat menarik dan menonjol pasca MOU Helsingki adalah adanya transformasi Gerakan Aceh Merdeka menjadi Gerakan politik, yang diwujudkan dalam Partai Aceh. Proses transformasi ini sendiri memberikan warna tersendiri dalam dinamika perpolitikan Aceh.

Dalam sejarah perpolitikan diberbagai daerah dunia yang perlanda dilanda konflik, dalam regional sebuah pemerintahan, seperti di Inggris dengan dengan gerakan politik dari pejuang Irlandia, di Spanyol dengan gerakan politik dari pejuang Catalunya, di Filipina dengan gerakan politik dari pejuang kelompok Moro, dan diberbagai daerah lain juga mengalami proses tranformasi seperti yang berlaku di Aceh yang kita lihat sekarang ini. Namun harus diketahui tak semuanya berjalan mulus, dan tranformasinya berhasil dengan baik. Sebagai contohnya yang terjadi di Filipina, setelah perdamaian kelompok Moro dengan pemerintahan dan berhasil menjadi gerakan politik yang menguasai selama beberapa tahun, namun akhirnya perdamaian itu kandas, maka terjadilah berbagai kekacauan lagi. Oleh karena itu, makalah ini akan menarik karena mengkaji dan menggambarkan proses perkembangan atau dinamika perpolitikan Aceh pasca MOU helsinki.

B.     Rumusan Permasalahan


Berdasarkan permasalahan diatas, maka kami merumuskan permasalahanya dalam beberapa pertanyaan yaitu sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah perkembangan perpolitikan Aceh pasca MOU Helsingki?
2.      Bagaimanakah proses tranformasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menjadi gerakan politik?
3.      Apakah MOU Helsingki telah mampu membawa pembangunan yang signifikan di Aceh?

C.      Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menggambarkan proses dinamika sosial perpolitikan Aceh pasca MOU. Sebagaimana diketahui MOU helsingki merupakan produk perdamaian yang menjadi fakta dalam sejarah perkembangan politik Aceh. Selain itu dalam makalah ini juga ingin melihat bagaimana proses tranformasi Gerakan Aceh Merdeka menjadi gerakan politik yang memonopoli perpolitikan di Aceh serta.

D.     Mamfaat Penulisan


Dari penulisan makalah ini diharapkan menjadi sumbangan pengetahuan yang berguna baik bagi penulis sendiri, maupun bagi pembaca atau seluruh kalangan umum yang ingin melihat perkembangan Aceh, khususnya pasca MOU Helsingki.



BAB II
PEMBAHASAN


A.     Perkembangan Politik di Aceh

1.     Pengertian Politik


Politik berasal dari bahasa Yunani, yaitu polis yang berarti kota, atau negara kota. Dari penjelasan etimologis tersebut maka dapat disimpulkan bahwa politik sebagai sesuatu yang berhubungan antara warga negara pada suatu (negara) kota. Sedangkan akar katanya dari bahasa Inggris adalah politics, yang bermakna bijaksana. Maka politik dapat dipahami sebagai suatu proses dan sistem penentuan dan pelaksanaan kebijakan yang berkaitan dengan warga negara dalam negara (kota).

Keith Fauls (1999: 133) memberikan batasan yang jelas mengenai politik. Dia menitikberatkan politik sebagai sesuatu yang tak terpisahkan dari manusia. Dalam bahasan lain Keith Fauls dalam system politik itu perlu yang namanya partisipasi politik. Herbert McClosky memberikan batasan pengertian mengenai partisipasi politik. Menurut McClosky partisipasi politik merupakan kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum.

2.     Sejarah Perpolitikan di Aceh


Sejarah perpolitikan Aceh sangatlah panjang dan penuh warna. Semenjak dari dulu kala, dimana Aceh masih menganut system pemerintahan berbasis monarki atau masih dipimpin oleh Raja-Raja sampai sekarang yang menganut system pemerintahan demokratis, Aceh tak bisa dipisahkan dari politik. Dalam makalah ini, perpolitikan di Aceh akan digambarkan setelah perdamaian saja, atau pasca MOU Helsinki. Hal ini mengingat sejarah perpolitikan dan dinamika politik Aceh itu sendiri yang begitu luas dan panjang, dan tak mungkin habis dibahasa dalam penulisan ini.

Penandatanganan Nota Kesepahaman ( Memorandum of Understanding, MoU) antara pemerintahan RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 5 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia, merupakan peristiwa bersejarah dalam tiga puluh tahun konflik di aceh. Kedua pihak bersepakat untuk melaksanakan MoU Helsinki segera setelah penandatanganan kesepakatan perdamaian itu. Kondisi ekonomi masyarakat diharapkan segera meningkat berbarengan dengan stabilnya kondisi keamanan. Namun begitu, sejak upaya pelaksanaan MoU Helsinki, jenis konflik telah berubah dari konflik vertical, antara pemerintah pusat dengan GAM menjadi konflik horizontal antar komponen masyarakat, terutama berkaitan dengan distribusi kompensasi ekonomi bagi mantan anggota GAM dan penguasaan aset-aset ekonomi dan politik oleh para mantan kombatan.

Dimulai sejak masa orde baru, ketika presiden Soeharto melanjutkan kebijakan pendahulunya yang berjanji untuk memberikan Aceh status daerah istimewa dan penerapan syariat islam, sampai kepada Soeharto yang memberi izin untuk eksploitasi kekayaan Aceh kepada AMerika Serikat, yaitu membuka industry besar di Aceh dibidang eksplorasi minyak dan gas di Arun pada tahun 1970an. Aceh sudah mulai menggerakkan pemberontakan dalam skala kecil namun akhirnya konflik kecil itu padam atau mati suri.

Kemudian. pemberontakan di Aceh muncul kembali dengan nama baru yaitu  Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dipimpin oleh Hasan Tiro. Walau gerakan ini baru didirikan pada 20 Mei 1977, Hasan Tiro memilih hari lahir GAM pada tanggal 4 Desember 1976. Sesuai dengan proklamasi kemerdekaan Aceh Sumatra. Kalau dulu Daud Beureueh dan Darul Islam hanya berupaya mendirikan Negara Islam Indonesia tanpa ada keinginan memisahkan diri dari RI, GAM bercita-cita mendirikan negara merdeka dan terpisah dari RI. Walau usaha itu kemudian berhasil dibendung dan dihancurkan dengan kekuatan militer pada Mei 1977, gerakan itu kembali mencuat pada tahun 1989 dan meningkat pesat pada akhir 1998 atau pada era Reformasi.

Sejak pendirian GAM, konflik di Aceh dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu: tahap pertama, 1976-1979 GAM hanya merupakan kelompok separatis kecil didirikan oleh 70 orang cendikiawan yang tersebar hanya di kampong Hasan Tiro, Pidie.  Gerakan ini dipadamkan dengan operasi intelijen militer, memaksa Hasan Tiro untuk mengasingkan diri ke Swedia sejak tahun 1979; tahap kedua, 1989-1998 GAM menjadi simbol perlawanan terhadap pemerintah pusat. Sejak 1989 GAM mulai melakukan serangan sporadic terhadap pos TNI dan POLRI di Aceh. GAM menjadi semakin kuat sejak kembalinya sekitar 800 anggotanya yang diduga berlatih kemiliteran di Libya pada kisaran waktu pertengahan dan akhir tahun 1980-an, serta anggota lain sejumlah 115 yang dilatih oleh gerilya muslim di Mindanao Filipina, beberapa anggota GAM lsinnya dikabarkan berlatih kemiliteran di Afghanistan.

B.     Dinamika Perpolitikan Aceh Pasca MOU Helsinki

1.     Transformasi Gerakan Aceh Merdeka


Menurut Anton Aliabbas dalam buku Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca Mou Helsinki, secara teoritik, transformasi adalah sebuah proses yang membawa sebuah perubahan fundamental untuk mengganti sebuah keadaan status quo menjadi lebih baik. Transformasi tidak hanya mencakup kebijakan, institusi dan proses, tetapi juga nilai dan sikap yang didukung juga dengan adanya perubahan lingkungan.

MoU Helsinki yang di tandatangani pada 15 Agustus 2005 lalu tidak hanya membuat perubahan secara fundamental terhadap kondisi perdamaian dan konflik yang terjadi di Aceh tetapi juga telah memaksa GAM untuk melakukan transformasi. Salah satu transformasi yang terjadi adalah transformasi dalam bilang politik.

Untuk lebih jelas, perubahan perpolitikan di Aceh terlihat dari beberapa hal, antara lain:

a. Pilkada Langsung


Pilkada langsung yang digelar di provinsi ujung barat pulau sumatra ini adalah pertama kalinya di Indonesia. Pilkada digelar serentak dengan pemilihan bupati/walikota dihampir seluruh daerah. Dengan kata lain, aceh adalah contoh ketika pemilihan gubernur, walikota, dan bupati dipilih secara bersamaan, sehingga adalah wajar jika kemudian tensi politik yang terjadi di Aceh menjadi sangat tinggi.

b.Dinamika Internal GAM
Adanya perubahan pola “perjuangan” dari bentuk perlawananan bersenjata menjadi sebuah gerakan politik. Dimana pimpinan GAM membentuk majelis Nasional sebagai badan yang berwenang untuk mengurusi politik dan juga pembentukan Komite Peralihan Aceh (KPA) untuk memantau proses demobilisasi dan reintegrasi mantan kombatan. Pendirian Majelis Nasional adalah dimaksudkan sebagai lembaga yang menyatukan seluruh sumberdaya politik dan ekonomi GAM.

c.    Transformasi Ekonomi
Selain pada bidang politik, perubahan yang terjadi dalam tubuh GAM adalah pada bidang ekonomi. Keinginan GAM untuk memperkuat sektor ekonomi adalah dampak dari adanya program DPR sebagai salah satu output dari kesepakatan Helsinki. Beberapa kebijakan dan regulasi dikeluarkan pemerintah guna menindaklanjuti MoU tersebut. Inpres No 15 tahun 2005, menyebutkan “ agar gubernur NAD mengelola reintegrasi dan pemberdayaan setiap orang yang terlibat dalam GAM kedalam masyarakat mulai dari: penerimaan, pembekalan, pemulangan, ke kampung halaman dan penyiapan pekerjaan.
Secara teoretik, reintegrasi adalah program dimana mantan kombatan dapat memperoleh kembali status kewarganegaraan termasuk juga akses politik, sosial dan ekonomi seperti warga negara lainnya. Tujuan program ini adalah untuk mendukung usaha eks kombatan kembali ke komunitas masyarakatnya yang difokuskan pada pemenuhan kebutuhan dasar dan kemampuan mereka baik secara ekonomi maupun sosial.
Kebijakan reintegrasi pascakonflik di Aceh dapat dibagi kedalam 3 tahapan program: fase reintegrasi jangka pendek telah dilaksanakan pada kurun waktu 11 Februari- 5 Mei 2006. Reintegrasi jangka menengah dengan target waktu pada 6 Mei- 31 Desember 2006 dan reintegrasi jangka panjang saat ini tengah dilakukan pemerintah sejak 1 Januari 2007 hingga 31 Desember 2007.

d.   Munculnya Aspirasi Pembentukan Provinsi ALA dan ABAS
Adanya aspirasi pembentukan provinsi ALA (Aceh Leuser Antara) dan ABAS (Aceh Barat Selatan) menjadi salah satu masalah tersendiri bagi pemimpin dipemerintahan Aceh, khususnya dalam mempertahankan teritorial Aceh sesuai ketentuan tahun 1965 dan menjaga perdamaian di Aceh pasca MoU Helsinki.
Secara general Aceh merupakan provinsi yang multietnis. Penduduknya antara lain berasal dari etnis Aceh, Gayo, Alas, Singkil, Aneuk Jamee, Tamiang, Pak-pak, dan Simeuleu. Menurut Aris Ananta, pada tahun 2000 suku Aceh berjumlah sekitar 20% dari total pnduduk NAD, 15,87% suku jawa, suku Gayo 15,46%, Alas 3,89%, singkil 2,55%, Simeulu 2,47%, Batak 2,26% dan Minangkabau 1,09%. Di aceh juga dijumpai keturunan Tionghoa, Arab, India dan tamil.
Aspirasi pemekaran ini dilatarbelakangi oleh perbedaan etnisitas, ekonomi (ketertinggalan pembangunan) dan ideologi (pro-GAM VS anti-GAM) antara daerah-daerah di ALA dan ABAS yang non basis GAM, dengan basis GAM seperti di Aceh Utara, Aceh Timur, Lhoksemawe, Bireuen dan Pidie di pantai Timur Aceh. Kabupaten-kabupaten dikawasan ALA meliputi Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tengah, Bener Meriah dan Aceh Singkil. Sedangkan kawasan ABAS mencakup Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Aceh Jaya dan Simeulue. Aparat militer diduga terlibat dalam pembentukan aspirasi ALA dan ABAS sekitar tahun 2001 demi mencegah perluasaan wilayah GAM. Aspirasi pembentukan ALA dan ABAS sebenarnya telah ada sejak tahun 1990-an, namun pembahasan di DPR saat itu tidak menghasilkan keputusan.

 Dilihat dari aspek geografi, ALA dan ABAS memang cukup jauh lokasinya dengan ibukota NAD, yaitu Kota Banda Aceh. Dari Banda Aceh ke Singkil (pemekaran dari kab. Aceh Selatan), misalnya, jaraknya sekitar 1000 km. dari  medan ke singkil bila lewat darat memakan waktu sekitar 7 jam. Dari gayo lues ke banda aceh juga harus lewat medan. Bila lewat darat memerlukan waktu sekitar 8 jam. Dari medan ke banda aceh lewat darat membutuhkan waktu kira-kira 12 jam, sehingga kurang efektif untuk koordinasi pemerintahan.

C.      Pembangunan Pasca MOU Helsinki

Mengenai pembangunan pada Pemerintahan di Aceh, sebahagian para tokoh mengatakan seperti teori ersazt kapitalism yaitu penguasa dan  pengusaha sekongkol untuk memperkaya diri mereka sendiri, sangat ditakutkan dimana suatau saat bila yang kaya tanpa mempedulikan kalangan miskin akan terjadi perlawanan secara politis, apalagi seperti mantan kombatan yang lahir dari masyarakat dan atas dukungan masyarakat mereka bisa menguasai parlemen dan bisa mengumpulkan harta sebanyak mungkin.

Pembangunan ekonomi yang di cita-citakan oleh mantan GAM saat ini masih sebatas wacana, dan belum ada realitas yang jelas. Banyak hal yang bisa menghambat pembangunan di Aceh umumnya, dan Aceh khususnya, kebanyakan hambatan itu muncul dari tubuh GAM sendiri. Karena ada sebagian mantan GAM yang mengkambing hitamkan pembangunan untuk keperluan pribadi, untuk mendapatkan pemasukan yang lebih. Sebagian mantan kombatan GAM lebih memilih menjadi senator, atau menduduki jabatan Eksekutif dan Keterlibatan mantan-kombatan GAM dalam proses politik lokal yang merupakan langkah penting dalam  proses perdamaian Aceh.

Pilkada ini juga berpotensi memiliki dua peran kunci dalam membangun perdamaian jangka panjang: yaitu untuk memperkuat cara-cara persaingan politik yang sehat antara para elit lokal Aceh, dan untuk membangun landasan bagi tata pemerintahan yang baik (good governance) dan pengembangan kebijakan yang efektif di Aceh. Kemenangan mantan GAM juga yang akan menentukan arah pembangunan di Aceh kedepan dan siapa yang diuntungkan ketika mereka menguasai pemerintahan.

Dapat pemahami bahwa, selama GAM berperan dalam pengambil kebijakan di Aceh  pembangunan yang dilakukan hanya sedikit diakibatkan dari ketidak seriusan GAM dalam membangun Aceh, dalam pembangunan GAM lebih mementingkan kalangannya sendiri dan orang-orang yang dekat dengan pemerintahan. Sehingga peluang pembangunan masyarakat  banyak tidak ada sumber daya yang ada di Aceh sudah dimanfaatkan oleh GAM yang dekat dengan pemerintahan. Pasca GAM menguasai pemerintahan mereka memainkan peran ersazt kapitalism sebagaimana yang dikatakan oleh Yoshihara Kunio “campur tangan pemerintah terlalu banyak” kebijakan dibuat untuk kepentingan kalangan pengambil kebijakan dan  pengusaha dari kalangan mereka.

 Proyek proyek pembangunan fisik lebih diutamakan dikerjakan oleh kalangan kontraktor dari GAM, hanya beberapa kalangan dari masyarakat biasa yang dapat mengakses proyek pembangunan itu jikalau mereka bisa berpartisipasi dengan kalangan pembuat kebijakan. Seperti proyek pembangunan jembatan Cunda yang dikerjakan oleh Bangun PT. Cipta Konstruksi bersama PT. Pulau Gading yang juga merupakan kontraktor dari GAM.

Ekonomi politik yang dilakukan yang dilakukan oleh GAM dapat dilihat dari segi  pembangunan infrastruktur seperti pembuatan jalan dan peningkatan ekonomi masyarakat lemah seperti pemberian modal usaha untuk masyarakat yang ekonominya lemah. Tapi walaupun  pembangunan sudah diupayakan belum semua masyarakat menengah kebawah bisa mendapatkan pembangunan, diakibatkan karena keterbatasan kemampuan pemerintah dalam mengelola pemerintahan. Walaupun dia sendiri yang korban konflik belum mendapat bantuan apapun dari pemerintah, GAM lebih mementingkan kelompok mereka sendiri dalam mengakses sumber daya yang ada di Aceh, disini dapat kita lihat bahwa GAM telah melahirkan „birokrat kapitalis‟, sebagaimana yang dikatakan oleh Guillermo O`Donnel dalam buku Ekonomi Politik dan Struktur Politik Orde Baru yang ditulis oleh Mochtar Mas‟oed, birokratis bersifat birokratik -teknokratik, sebagai lawan pendekatan politik dalam pembuatan kebijaksanaan yang memerlukan suatu proses tawar-menawar yang lama diantara berbagai kelompok dan kepentingan.

Selama kemenangan GAM dalam parlemen di Aceh hampir seluruh proyek  pembangunan di Aceh dikuasai oleh GAM, baik proyek yang berbentuk pembangunan infrastruktur maupun proyek pengembangan swadaya masyarakat. merosotnya pembangunan di Aceh salah satu faktor adalah tidak adanya transparansi pembangunan, proyek yang bekerja ditentukan oleh pihak pemerintah kebiasaannya lelang hanya sekedar administrasi pemerintahan, seperti banyak proyek pekerjaan infrastruktur publik di Aceh yang sumber dananya dari APBA, tidak terdapat papan nama proyek, ini menunjukkan bahwa pelaksanaan pembangunan infrastruktur publik tidak transparan berarti ada yang disembunyikan dari pembangunan tersebut.

Setiap pembangunan biasanya pihak pihak pengelolaan anggaran berkoordinasi dengan Satuan Kerja perangkat Kabupaten SKPK, tetapi bagian tersebut berjalan sendiri-sendiri tanpa ada koordinasi. Banyak program tersebut dikerjakan oleh kontraktor dari GAM, dan kebanyakan kontraktor dari GAM biasnya menyewa perusahaan milik pengusaha lain untuk bisa mengerjakan proyek yang diberikan oleh pihak GAM yang ada di pemerintahan. Banyak mantan-kombatan GAM yang melakukan pekerjaan fisik setengah hati, dalam arti kata mereka banyak yang aktif dikontraktor ketika ada proyek saja dengan menyewa  perusahaan rekannya untuk menjalankan proyek tersebut.

Seorang sosiolog Arief Budiman mengatakan bahwa Pemerintahan dari GAM telah memainkan peran kapitalisme birokrat, dimana tumbuhnya kelas birokrat kapitalis yang menguasai berbagai institusi pemerintahan. Kelompok birokrat menggunakan kekuasaan birokrasinya untuk melakukan akumulasi modal. Apa yang dikatakan oleh Arief Budiman sangat tepat sebagaimana yang disampaikan oleh responden bahwa pemerintahan Aceh yang didominasi oleh GAM membentuk koalisi untuk mengumpulkan modal untuk memperkaya diri dengan membagikan proyek lebih banyak kepada kalangannya sesama GAM dibandingkan dengan masyarakat biasa.


BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan


Sejarah perpolitikan Aceh sangatlah panjang dan penuh warna. Semenjak dari dulu kala, dimana Aceh masih menganut system pemerintahan berbasis monarki atau masih dipimpin oleh Raja-Raja sampai sekarang yang menganut system pemerintahan demokratis, Aceh tak bisa dipisahkan dari politik. Proses penandatanganan Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara pemerintahan RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 5 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia, juga salah satu bagian dari politik Aceh dan merupakan peristiwa bersejarah dalam tiga puluh tahun konflik di Aceh.

Pasca MoU Helsinki kondisi ekonomi masyarakat Aceh diharapkan segera meningkat berbarengan dengan stabilnya kondisi keamanan. Namun begitu, sejak upaya pelaksanaan MoU Helsinki, konflik juga muncul. Hanya saja jenisnya yang berbeda dan bentuknya lain, jenis konflik telah berubah dari konflik vertical, antara pemerintah pusat dengan GAM menjadi konflik horizontal antar komponen masyarakat. Hal ini berkaitan dengan distribusi kompensasi ekonomi bagi mantan anggota GAM dan penguasaan aset-aset ekonomi dan politik oleh para mantan kombatan.

Tak dapat dipungkiri, MoU Helsinki yang di tandatangani pada 15 Agustus 2005 lalu tidak hanya membuat perubahan secara fundamental terhadap kondisi perdamaian dan konflik yang terjadi di Aceh tetapi juga telah memberikan warna atau dimensi terbaru dalam perpolitikan Aceh. Beberapa hal yang terlihat dari dinamika perpolitikan Aceh pasca MuO tersebut antara lain; adanya tranformasi Gerakan Aceh Merdeka menjadi gerakan politik, tranformasi ekonomi pada mantan kombatan GAM, munculnya aspirasi pembentukan ALA dan ABAS dan pembangunan yang dimonopoli oleh mantan kombatan.

*Jika ingin mengetahui lebih lanjut seperti mengenai referensinya, silahkan tinggalkan komentarnya dibawah, dan harap dengan bahasa yang sopan

Tidak ada komentar untuk "Makalah Sosiologi Politik: Dinamika Sosial Politik Pasca MoU Helsinki"