Dinamika Politik dan Sosial Aceh Pasca MoU Helsinki
Aceh merupakan salah satu provinsi yang daerahnya kerap sekali dilanda konflik. Dari semenjak pra kemerdekaan sampai pasca kemerdekaan NKRI --yang menjadikan Aceh termasuk sebagai bagiannya. Dan salah satu konflik yang terjadi pasca kemerdekaan NKRI ialah konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Pusat di Jakarta.
Namun demikian konflik tersebut berakhir dengan jalan damai pada 15 Agustus 2005, yang membuat GAM bermetamorfosis menjadi salah satu kekuatan politik di Aceh.
1.
Transformasi
Gerakan Aceh Merdeka
Menurut Anton Aliabbas dalam buku Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca Mou Helsinki, secara
teoritik, transformasi adalah sebuah proses yang membawa sebuah perubahan
fundamental untuk mengganti sebuah keadaan status
quo menjadi lebih baik. Transformasi tidak hanya mencakup kebijakan,
institusi dan proses, tetapi juga nilai dan sikap yang didukung juga dengan
adanya perubahan lingkungan.
MoU Helsinki yang di tandatangani pada 15 Agustus 2005 lalu
tidak hanya membuat perubahan secara fundamental terhadap kondisi perdamaian
dan konflik yang terjadi di Aceh tetapi juga telah memaksa GAM untuk melakukan
transformasi. Salah satu transformasi yang terjadi adalah transformasi dalam
bilang politik.
Untuk lebih jelas, perubahan perpolitikan di Aceh terlihat
dari beberapa hal, antara lain:
a. Pilkada Langsung
Pilkada langsung yang digelar di provinsi ujung barat pulau
sumatra ini adalah pertama kalinya di Indonesia. Pilkada digelar serentak
dengan pemilihan bupati/walikota dihampir seluruh daerah. Dengan kata lain,
aceh adalah contoh ketika pemilihan gubernur, walikota, dan bupati dipilih
secara bersamaan, sehingga adalah wajar jika kemudian tensi politik yang
terjadi di Aceh menjadi sangat tinggi.
b.Dinamika Internal GAM
Adanya
perubahan pola “perjuangan” dari bentuk perlawananan bersenjata menjadi sebuah
gerakan politik. Dimana pimpinan GAM membentuk majelis Nasional sebagai badan
yang berwenang untuk mengurusi politik dan juga pembentukan Komite Peralihan
Aceh (KPA) untuk memantau proses demobilisasi dan reintegrasi mantan kombatan.
Pendirian Majelis Nasional adalah dimaksudkan sebagai lembaga yang menyatukan
seluruh sumberdaya politik dan ekonomi GAM.
c. Transformasi Ekonomi
Selain pada
bidang politik, perubahan yang terjadi dalam tubuh GAM adalah pada bidang
ekonomi. Keinginan GAM untuk memperkuat sektor ekonomi adalah dampak dari
adanya program DPR sebagai salah satu output
dari kesepakatan Helsinki. Beberapa kebijakan dan regulasi dikeluarkan
pemerintah guna menindaklanjuti MoU tersebut. Inpres No 15 tahun 2005, menyebutkan
“ agar gubernur NAD mengelola reintegrasi dan pemberdayaan setiap orang yang
terlibat dalam GAM kedalam masyarakat mulai dari: penerimaan, pembekalan,
pemulangan, ke kampung halaman dan penyiapan pekerjaan.
Secara
teoretik, reintegrasi adalah program dimana mantan kombatan dapat memperoleh
kembali status kewarganegaraan termasuk juga akses politik, sosial dan ekonomi
seperti warga negara lainnya. Tujuan program ini adalah untuk mendukung usaha
eks kombatan kembali ke komunitas masyarakatnya yang difokuskan pada pemenuhan
kebutuhan dasar dan kemampuan mereka baik secara ekonomi maupun sosial.
Kebijakan
reintegrasi pascakonflik di Aceh dapat dibagi kedalam 3 tahapan program: fase
reintegrasi jangka pendek telah dilaksanakan pada kurun waktu 11 Februari- 5
Mei 2006. Reintegrasi jangka menengah dengan target waktu pada 6 Mei- 31
Desember 2006 dan reintegrasi jangka panjang saat ini tengah dilakukan
pemerintah sejak 1 Januari 2007 hingga 31 Desember 2007.
d. Munculnya Aspirasi Pembentukan Provinsi ALA dan
ABAS
Adanya
aspirasi pembentukan provinsi ALA (Aceh Leuser Antara) dan ABAS (Aceh Barat
Selatan) menjadi salah satu masalah tersendiri bagi pemimpin dipemerintahan
Aceh, khususnya dalam mempertahankan teritorial Aceh sesuai ketentuan tahun
1965 dan menjaga perdamaian di Aceh pasca MoU Helsinki.
Secara
general Aceh merupakan provinsi yang multietnis. Penduduknya antara lain
berasal dari etnis Aceh, Gayo, Alas, Singkil, Aneuk Jamee, Tamiang, Pak-pak,
dan Simeuleu. Menurut Aris Ananta, pada tahun 2000 suku Aceh berjumlah sekitar
20% dari total pnduduk NAD, 15,87% suku jawa, suku Gayo 15,46%, Alas 3,89%,
singkil 2,55%, Simeulu 2,47%, Batak 2,26% dan Minangkabau 1,09%. Di aceh juga
dijumpai keturunan Tionghoa, Arab, India dan tamil.
Aspirasi
pemekaran ini dilatarbelakangi oleh perbedaan etnisitas, ekonomi
(ketertinggalan pembangunan) dan ideologi (pro-GAM VS anti-GAM) antara
daerah-daerah di ALA dan ABAS yang non basis GAM, dengan basis GAM seperti di
Aceh Utara, Aceh Timur, Lhoksemawe, Bireuen dan Pidie di pantai Timur Aceh.
Kabupaten-kabupaten dikawasan ALA meliputi Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh
Tengah, Bener Meriah dan Aceh Singkil. Sedangkan kawasan ABAS mencakup Aceh
Barat, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Aceh Jaya dan Simeulue.
Aparat militer diduga terlibat dalam pembentukan aspirasi ALA dan ABAS sekitar
tahun 2001 demi mencegah perluasaan wilayah GAM. Aspirasi pembentukan ALA dan
ABAS sebenarnya telah ada sejak tahun 1990-an, namun pembahasan di DPR saat itu
tidak menghasilkan keputusan.
Dilihat
dari aspek geografi, ALA dan ABAS memang cukup jauh lokasinya dengan ibukota
NAD, yaitu Kota Banda Aceh. Dari Banda Aceh ke Singkil (pemekaran dari kab.
Aceh Selatan), misalnya, jaraknya sekitar 1000 km. dari medan ke singkil bila lewat darat memakan
waktu sekitar 7 jam. Dari gayo lues ke banda aceh juga harus lewat medan. Bila
lewat darat memerlukan waktu sekitar 8 jam. Dari medan ke banda aceh lewat
darat membutuhkan waktu kira-kira 12 jam, sehingga kurang efektif untuk
koordinasi pemerintahan.
C.
Pembangunan
Pasca MOU Helsinki
Mengenai pembangunan pada Pemerintahan
di Aceh, sebahagian para tokoh mengatakan seperti teori ersazt kapitalism yaitu penguasa dan pengusaha sekongkol untuk memperkaya diri
mereka sendiri, sangat ditakutkan dimana suatau saat bila yang kaya tanpa
mempedulikan kalangan miskin akan terjadi perlawanan secara politis, apalagi
seperti mantan kombatan yang lahir dari masyarakat dan atas dukungan masyarakat
mereka bisa menguasai parlemen dan bisa mengumpulkan harta sebanyak mungkin.
Pembangunan ekonomi yang di
cita-citakan oleh mantan GAM saat ini masih sebatas wacana, dan belum ada
realitas yang jelas. Banyak hal yang bisa menghambat pembangunan di Aceh
umumnya, dan Aceh khususnya, kebanyakan hambatan itu muncul dari tubuh GAM
sendiri. Karena ada sebagian mantan GAM yang mengkambing hitamkan pembangunan
untuk keperluan pribadi, untuk mendapatkan pemasukan yang lebih. Sebagian
mantan kombatan GAM lebih memilih menjadi senator, atau menduduki jabatan
Eksekutif dan Keterlibatan mantan-kombatan GAM dalam proses politik lokal yang
merupakan langkah penting dalam proses
perdamaian Aceh.
Pilkada ini juga berpotensi memiliki
dua peran kunci dalam membangun perdamaian jangka panjang: yaitu untuk
memperkuat cara-cara persaingan politik yang sehat antara para elit lokal Aceh,
dan untuk membangun landasan bagi tata pemerintahan yang baik (good governance) dan pengembangan
kebijakan yang efektif di Aceh. Kemenangan mantan GAM juga yang akan menentukan
arah pembangunan di Aceh kedepan dan siapa yang diuntungkan ketika mereka
menguasai pemerintahan.
Dapat pemahami bahwa, selama GAM
berperan dalam pengambil kebijakan di Aceh
pembangunan yang dilakukan hanya sedikit diakibatkan dari ketidak
seriusan GAM dalam membangun Aceh, dalam pembangunan GAM lebih mementingkan
kalangannya sendiri dan orang-orang yang dekat dengan pemerintahan. Sehingga
peluang pembangunan masyarakat banyak
tidak ada sumber daya yang ada di Aceh sudah dimanfaatkan oleh GAM yang dekat
dengan pemerintahan. Pasca GAM menguasai pemerintahan mereka memainkan peran
ersazt kapitalism sebagaimana yang dikatakan oleh Yoshihara Kunio “campur
tangan pemerintah terlalu banyak” kebijakan dibuat untuk kepentingan kalangan
pengambil kebijakan dan pengusaha dari
kalangan mereka.
Proyek proyek pembangunan fisik lebih
diutamakan dikerjakan oleh kalangan kontraktor dari GAM, hanya beberapa
kalangan dari masyarakat biasa yang dapat mengakses proyek pembangunan itu jikalau
mereka bisa berpartisipasi dengan kalangan pembuat kebijakan. Seperti proyek
pembangunan jembatan Cunda yang dikerjakan oleh Bangun PT. Cipta Konstruksi
bersama PT. Pulau Gading yang juga merupakan kontraktor dari GAM.
Ekonomi politik yang dilakukan yang
dilakukan oleh GAM dapat dilihat dari segi
pembangunan infrastruktur seperti pembuatan jalan dan peningkatan
ekonomi masyarakat lemah seperti pemberian modal usaha untuk masyarakat yang
ekonominya lemah. Tapi walaupun pembangunan
sudah diupayakan belum semua masyarakat menengah kebawah bisa mendapatkan
pembangunan, diakibatkan karena keterbatasan kemampuan pemerintah dalam
mengelola pemerintahan. Walaupun dia sendiri yang korban konflik belum mendapat
bantuan apapun dari pemerintah, GAM lebih mementingkan kelompok mereka sendiri
dalam mengakses sumber daya yang ada di Aceh, disini dapat kita lihat bahwa GAM
telah melahirkan „birokrat kapitalis‟, sebagaimana yang dikatakan oleh
Guillermo O`Donnel dalam buku Ekonomi
Politik dan Struktur Politik Orde Baru yang ditulis oleh Mochtar Mas‟oed,
birokratis bersifat birokratik -teknokratik, sebagai lawan pendekatan politik
dalam pembuatan kebijaksanaan yang memerlukan suatu proses tawar-menawar yang
lama diantara berbagai kelompok dan kepentingan.
Selama kemenangan GAM dalam parlemen di
Aceh hampir seluruh proyek pembangunan
di Aceh dikuasai oleh GAM, baik proyek yang berbentuk pembangunan infrastruktur
maupun proyek pengembangan swadaya masyarakat. merosotnya pembangunan di Aceh
salah satu faktor adalah tidak adanya transparansi pembangunan, proyek yang
bekerja ditentukan oleh pihak pemerintah kebiasaannya lelang hanya sekedar
administrasi pemerintahan, seperti banyak proyek pekerjaan infrastruktur publik
di Aceh yang sumber dananya dari APBA, tidak terdapat papan nama proyek, ini
menunjukkan bahwa pelaksanaan pembangunan infrastruktur publik tidak transparan
berarti ada yang disembunyikan dari pembangunan tersebut.
Setiap pembangunan biasanya pihak pihak
pengelolaan anggaran berkoordinasi dengan Satuan Kerja perangkat Kabupaten
SKPK, tetapi bagian tersebut berjalan sendiri-sendiri tanpa ada koordinasi.
Banyak program tersebut dikerjakan oleh kontraktor dari GAM, dan kebanyakan
kontraktor dari GAM biasnya menyewa perusahaan milik pengusaha lain untuk bisa
mengerjakan proyek yang diberikan oleh pihak GAM yang ada di pemerintahan.
Banyak mantan-kombatan GAM yang melakukan pekerjaan fisik setengah hati, dalam
arti kata mereka banyak yang aktif dikontraktor ketika ada proyek saja dengan
menyewa perusahaan rekannya untuk
menjalankan proyek tersebut.
Seorang sosiolog Arief Budiman mengatakan
bahwa Pemerintahan dari GAM telah memainkan peran kapitalisme birokrat, dimana tumbuhnya
kelas birokrat kapitalis yang menguasai berbagai institusi pemerintahan. Kelompok
birokrat menggunakan kekuasaan birokrasinya untuk melakukan akumulasi modal.
Apa yang dikatakan oleh Arief Budiman sangat tepat sebagaimana yang disampaikan
oleh responden bahwa pemerintahan Aceh yang didominasi oleh GAM membentuk
koalisi untuk mengumpulkan modal untuk memperkaya diri dengan membagikan proyek
lebih banyak kepada kalangannya sesama GAM dibandingkan dengan masyarakat
biasa.
Daftar Pustaka
Ikrar
Nusa Bhakti. 2008. Beranda Perdamaian
Aceh Tiga Tahun Pasca Mou Helsinki. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Mochtar Mas’oed. 1989. Ekonomi Politik dan Sruktur Politik Orde
Baru 1966-1971. Jakarta: Lembaga Penelititan Pendidikan dan Penerangan
Ekonomi dan Sosial
Tidak ada komentar untuk "Dinamika Politik dan Sosial Aceh Pasca MoU Helsinki"
Posting Komentar