Sejarah Kempo di Dunia dan di Indonesia
Shorinji Kempo adalah salah satu dari seni bela diri yang berasal dari Jepang. Di Indonesia biasa disebut dengan Kempo saja. Shorinji Kempo diciptakan oleh Doshin So pada tahun 1947 sebagai sistem pelatihan dan pengembangan diri atau disiplin dalam bahasa jepang).
Kata Shorinji Kempo sendiri berasal dari kata sho = hutan, rin = bambu, ji = kuil, ken = aturan dan kempo bermakna "jalan hidup"
Metode latihannya berdasarkan pada filosofi "jiwa dan tubuh adalah sebuah kesatuan yang tak terpisahkan" dan "melatih tubuh dan jiwa". Dengan cara tersebut Shorinji Kempo mempunyai tiga manfaat yaitu: "pelatihan dan pertahanan diri", "pelatihan mental" dan "meningkatkan kesehatan".
Kaiso memperhatikan bahwa dalam semua ilmu bela diri yang telah dipelajarinya, ada tiga unsur gerakan mendasar — gerakan berputar, lurus dan melambung — dan berdasarkan penggabungan unsur-unsur inii ada 10 metode; metode halus (ju ho): yakni menunduk, melempar, memutar, menekan, mencekik dan membungkuk; serta metode keras (go ho) memukul, menyerang, menendang dan memotong. Kemudian ia menganalisa dan menyusun gerakan ini dengan prinsip fisik dan fisiologi. Kaiso bermaksud membuat metoda untuk melatih tubuh dan pikiran secara bersamaan sebagai inti bela diri.
Latihan fisik, pendidikan jasmani, dan selanjutnya membantu menyempurnakan karakter seseorang. Oleh karenanya, ia menggunakan peraturan latihan yang mudah yang dilukiskan pada dinding byaku-eden di Kuil Shaolin dan menyusunnya kembali ke dalam bentuk yang sesuai dengan masanya. Kemudian ditambah pengalaman bertempur yang berharga yang diperolehnya selama masa perang, memasukkan elemen ciptaannya sendiri, dan terbentuklah Shorinji Kempo.
Karena seni bela diri kempo waktu itu menjadi bagian dari latihan bagi para calon bhiksu, dengan sendirinya ilmu itu harus mempunyai dasar falsafah yang kuat. Dengan dilandasi agama Budha, yaitu tidak boleh membunuh dan menyakiti, maka semua kenshi (pemain Kempo) dilarang menyerang terlebih dahulu sebelum diserang. Hal ini menjadi doktrin Kempo, bahwa "perangilah dirimu sendiri sebelum memerangi orang lain". Berdasarkan doktrin ini mempengaruhi pula susunan beladiri ini, sehingga gerakan teknik selalu dimulai dengan mengelak/menangkis serangan dahulu, baru kemudian membalas. Selanjutnya disesuaikan menurut kebutuhan yakni menurut keadaan serangan lawan.
Dharma selalu mengajarkan bahwa disamping dilarang menyerang juga tidak selalu setiap serangan dibalas dengan kekerasan. Sehingga dalam ilmu kempo itu lahirlah apa yang berbentuk mengelak saja. Cukup menekukkan bagian-bagian badan lawan, kemudian mengunci dan apabila terpaksa barulah dilakukan penghancuran titik-titik lemah lawan.
Bentuk yang pertama dikenal sebagai Juho dan yang berikutnya sebagai Goho. Setiap kenshi diharuskan menguasai teknik Goho (keras) dan Juho (lunak), artinya tidak dibenarkan apabila hanya mementingkan pukulan dan tendangan saja dengan melupakan bantingan dan kuncian.
Sejarah Kempo di Indonesia
Sejak akhir tahun 1959, pemerintah Jepang menerima mahasiwa dan pemuda Indonesia untuk belajar dan latihan sebagai salah satu bentuk pembayaran pampasan perang. Sejak itu secara bergelombang dari tahun ke tahun sampai tahun 1965, ratusan mahasiswa dan pemuda Indonesia mendapat kesempatan belajar di Jepang. Tidak sedikit di antara mereka itu memanfaatkan waktu senggang dan liburannya untuk belajar serta memperdalam seni beladiri seperti Karate, Judo, Ju Jit Su dan juga Kempo.
Sepulangnya ke tanah air, mereka bukan saja memperoleh ijazah sesuai dengan bidang studinya tetapi juga memperoleh tambahan berupa penguasaan beberapa seni bela diri.
Pada tahun 1964, dalam suatu acara kesenian yang dipertunjukkan mahasiswa Indonesia untuk menyambut tamu-tamu dari tanah airnya, seorang pemuda yang bernama Utin Syahraz mendemonstrasikan Shorinji Kempo. Apa yang didemonstrasikannya itu menarik minat pemuda dan mahasiswa Indonesia lainnya, diantaranya Indra Kartasasmita dan Ginanjar Kartasasmita serta beberapa orang lainnya. Mereka lalu datang ke pusat Shorinji Kempo di kota Tadotsu untuk menimba langsung seni bela diri itu.
Untuk meneruskan warisan seni bela diri itu di Indonesia, ketiga pemuda tersebut yaitu Utin Sahras (almarhum), Indra Kartasasmita dan Ginanjar Kartasasmita, akhirnya membentuk suatu organisasi olah raga Shorinji Kempo, yang bernama PERKEMI (Persaudaraan Bela Diri Kempo Indonesia) pada tanggal 2 Februari 1966.
Di Indonesia, Perkemi berada dibawah naungan KONI Pusat. Perkemi juga menjadi anggota penuh dari Organiasasi Federasi Shorinji Kempo se-Dunia atau WSKO (World Shorinji Kempo Organization), yang berpusat di kuil Shorinji Kempo di kota Tadotsu, Jepang.
Sejak tahun 1966 sampai tahun 1976, PB. PERKEMI mengadakan pemilihan pengurus setiap dua tahun sekali. Tapi sejak tahun 1976 sampai sekarang masa bakti pengurus berlangsung selama empat tahun.
Pada tahun 1970 diselenggarakan Kejuaraan Nasional Kempo yang pertama di Jakarta, dan pada tahun 1971 diadakan Kejuaraan Kempo antar Perguruan Tinggi yang pertama. Kempo mulai dipertandingkan sejak PON IX tahun 1977 di Jakarta.
Kata Shorinji Kempo sendiri berasal dari kata sho = hutan, rin = bambu, ji = kuil, ken = aturan dan kempo bermakna "jalan hidup"
Metode latihannya berdasarkan pada filosofi "jiwa dan tubuh adalah sebuah kesatuan yang tak terpisahkan" dan "melatih tubuh dan jiwa". Dengan cara tersebut Shorinji Kempo mempunyai tiga manfaat yaitu: "pelatihan dan pertahanan diri", "pelatihan mental" dan "meningkatkan kesehatan".
Kaiso memperhatikan bahwa dalam semua ilmu bela diri yang telah dipelajarinya, ada tiga unsur gerakan mendasar — gerakan berputar, lurus dan melambung — dan berdasarkan penggabungan unsur-unsur inii ada 10 metode; metode halus (ju ho): yakni menunduk, melempar, memutar, menekan, mencekik dan membungkuk; serta metode keras (go ho) memukul, menyerang, menendang dan memotong. Kemudian ia menganalisa dan menyusun gerakan ini dengan prinsip fisik dan fisiologi. Kaiso bermaksud membuat metoda untuk melatih tubuh dan pikiran secara bersamaan sebagai inti bela diri.
Latihan fisik, pendidikan jasmani, dan selanjutnya membantu menyempurnakan karakter seseorang. Oleh karenanya, ia menggunakan peraturan latihan yang mudah yang dilukiskan pada dinding byaku-eden di Kuil Shaolin dan menyusunnya kembali ke dalam bentuk yang sesuai dengan masanya. Kemudian ditambah pengalaman bertempur yang berharga yang diperolehnya selama masa perang, memasukkan elemen ciptaannya sendiri, dan terbentuklah Shorinji Kempo.
Karena seni bela diri kempo waktu itu menjadi bagian dari latihan bagi para calon bhiksu, dengan sendirinya ilmu itu harus mempunyai dasar falsafah yang kuat. Dengan dilandasi agama Budha, yaitu tidak boleh membunuh dan menyakiti, maka semua kenshi (pemain Kempo) dilarang menyerang terlebih dahulu sebelum diserang. Hal ini menjadi doktrin Kempo, bahwa "perangilah dirimu sendiri sebelum memerangi orang lain". Berdasarkan doktrin ini mempengaruhi pula susunan beladiri ini, sehingga gerakan teknik selalu dimulai dengan mengelak/menangkis serangan dahulu, baru kemudian membalas. Selanjutnya disesuaikan menurut kebutuhan yakni menurut keadaan serangan lawan.
Dharma selalu mengajarkan bahwa disamping dilarang menyerang juga tidak selalu setiap serangan dibalas dengan kekerasan. Sehingga dalam ilmu kempo itu lahirlah apa yang berbentuk mengelak saja. Cukup menekukkan bagian-bagian badan lawan, kemudian mengunci dan apabila terpaksa barulah dilakukan penghancuran titik-titik lemah lawan.
Bentuk yang pertama dikenal sebagai Juho dan yang berikutnya sebagai Goho. Setiap kenshi diharuskan menguasai teknik Goho (keras) dan Juho (lunak), artinya tidak dibenarkan apabila hanya mementingkan pukulan dan tendangan saja dengan melupakan bantingan dan kuncian.
Sejarah Kempo di Indonesia
Sejak akhir tahun 1959, pemerintah Jepang menerima mahasiwa dan pemuda Indonesia untuk belajar dan latihan sebagai salah satu bentuk pembayaran pampasan perang. Sejak itu secara bergelombang dari tahun ke tahun sampai tahun 1965, ratusan mahasiswa dan pemuda Indonesia mendapat kesempatan belajar di Jepang. Tidak sedikit di antara mereka itu memanfaatkan waktu senggang dan liburannya untuk belajar serta memperdalam seni beladiri seperti Karate, Judo, Ju Jit Su dan juga Kempo.
Sepulangnya ke tanah air, mereka bukan saja memperoleh ijazah sesuai dengan bidang studinya tetapi juga memperoleh tambahan berupa penguasaan beberapa seni bela diri.
Pada tahun 1964, dalam suatu acara kesenian yang dipertunjukkan mahasiswa Indonesia untuk menyambut tamu-tamu dari tanah airnya, seorang pemuda yang bernama Utin Syahraz mendemonstrasikan Shorinji Kempo. Apa yang didemonstrasikannya itu menarik minat pemuda dan mahasiswa Indonesia lainnya, diantaranya Indra Kartasasmita dan Ginanjar Kartasasmita serta beberapa orang lainnya. Mereka lalu datang ke pusat Shorinji Kempo di kota Tadotsu untuk menimba langsung seni bela diri itu.
Untuk meneruskan warisan seni bela diri itu di Indonesia, ketiga pemuda tersebut yaitu Utin Sahras (almarhum), Indra Kartasasmita dan Ginanjar Kartasasmita, akhirnya membentuk suatu organisasi olah raga Shorinji Kempo, yang bernama PERKEMI (Persaudaraan Bela Diri Kempo Indonesia) pada tanggal 2 Februari 1966.
Di Indonesia, Perkemi berada dibawah naungan KONI Pusat. Perkemi juga menjadi anggota penuh dari Organiasasi Federasi Shorinji Kempo se-Dunia atau WSKO (World Shorinji Kempo Organization), yang berpusat di kuil Shorinji Kempo di kota Tadotsu, Jepang.
Sejak tahun 1966 sampai tahun 1976, PB. PERKEMI mengadakan pemilihan pengurus setiap dua tahun sekali. Tapi sejak tahun 1976 sampai sekarang masa bakti pengurus berlangsung selama empat tahun.
Pada tahun 1970 diselenggarakan Kejuaraan Nasional Kempo yang pertama di Jakarta, dan pada tahun 1971 diadakan Kejuaraan Kempo antar Perguruan Tinggi yang pertama. Kempo mulai dipertandingkan sejak PON IX tahun 1977 di Jakarta.
***
Sumber:
Wikipedia
Tidak ada komentar untuk "Sejarah Kempo di Dunia dan di Indonesia"
Posting Komentar