Pendidikan Islam Pasca Kemerdekaan Indonesia
Sesudah Jepang kalah dan suasana proklamasi Kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945) mewarnai kegiatan hidup sebagian terbesar rakyat Indonesia, maka keadaan pendidikan pada umumnya dan pendidikan Islam pada khususnya, mengalami semacam ketidaktentuan. Guru-guru agama terutama mereka yang selama pendudukan Jepang mengajar di sekolah-sekolah agama yang diurus oleh Muhammadiyah dan pemerintah pendudukan Jepang, sebahagian besar mengundurkan diri dari dunia pendidikan dan beralih ke lapangan pekerjaan lain, yang ada hubungannya dengan suasana proklamasi kemerdekaan itu.
Potret kehidupan masyarakat Indonesia masa kolonial (jokowarino.id)
Mereka menjadi pelopor organisasi pemuda, yang kemudian menjadi organisasi kelasykaran. Tokoh-tokoh pemuka Muhammadiyah seperti Ahmad Makkarausu, Makkaraeng Dg. Jarung, Makkatang Dg. Siballi, Mohammad Noor, Gazali Syahlan, Nasaruddin Rachmat dan lain-lain pada saat-saat itu berperanan sangat penting dalam menggelorakan suasana kemerdekaan. Sebagian mereka terjun dalam lapangan politik dan sebagian besar lainnya terjun ke lapangan kelasykaran atau perlawanan bersenjata menghadapi kedatangan NICA (Belanda).
Dalam kesibukan menghadapi gelora kemerdekaan dan kekurangan tenaga yang berpengalaman untuk mengorganisasi kembali sekolah-sekolah Islam, masih juga terdapat tenaga-tenaga yang tidak melepaskan sama sekali kegiatannya dalam lapangan pendidikan. Sekolah-sekolah Muhammadiyah yang pada zaman pendudukan Jepang ditutup atau diambil alih oleh kekuasaan Jepang dengan pembentukan sekolah-sekolah Kokyo Gakuin Jamiatul Islamiah, dibuka kembali dengan tenaga-tenaga guru yang masih ada. Satu perguruan Islam yang mengambil alih Kokyo Gakuin didirikan dan diberi nama Perguruan Islam,20 di bawah pimpinan K.H. Darwis Zakariah.
Sekolah-sekolah itu, yang berkedudukan di kota Makassar, pada umumnya juga menjadi tempat pertemuan pemuda-pemuda kelasykaran. Di negeri-negeri pedalaman, di mana Muhammadiyah mempunyai pengaruh yang kuat sejak sebelum perang, para pemukanya menjadi pejoang-pejoang kemerdekaan. Sekolah-sekolah Muhammadiyah tingkat sekolah dasar dibangun atau dibuka kembali dengan semangat yang lebih kuat karena dorongan suasana kemerdekaan. Pemuda-pemuda kepanduan Hizbul—Wathan, berperanan amat aktif dalam organisasi pemuda dan kelasykaran.
1. Parewa Sara' dan Pembangunan Islam
Tetapi di samping itu terdapat juga usaha-usaha para ulama yang masih terikat pada keadaan zaman kerajaan Bugis—Makassar zaman lampau. Mereka itu terutama para Kadhi dengan bawahannya, yang disebut parewa sara' di negeri Zelfbestuur (Bone, Gowa, Soppeng, Sidenreng dan lain-lain). Mereka bersikap pasif terhadap gelora kemerdekaan proklamasi 17 Agustus 1945. Mereka pada umumnya mengikuti sikap Raja-raja Zelfbestuur setempat, yang pada mulanya tidak atau kurang bersimpati kepada Republik Indonesia, kecuali Raja Bone Andi Mappanyukki dan Datu Luwu Andi Jemma, yang pro Republik. (Kedua Raja ini ketika NICA dapat mengembalikan kekuasaan Belanda di Sulawesi Selatan dipecat dari jabatannya).
1. Parewa Sara' dan Pembangunan Islam
Tetapi di samping itu terdapat juga usaha-usaha para ulama yang masih terikat pada keadaan zaman kerajaan Bugis—Makassar zaman lampau. Mereka itu terutama para Kadhi dengan bawahannya, yang disebut parewa sara' di negeri Zelfbestuur (Bone, Gowa, Soppeng, Sidenreng dan lain-lain). Mereka bersikap pasif terhadap gelora kemerdekaan proklamasi 17 Agustus 1945. Mereka pada umumnya mengikuti sikap Raja-raja Zelfbestuur setempat, yang pada mulanya tidak atau kurang bersimpati kepada Republik Indonesia, kecuali Raja Bone Andi Mappanyukki dan Datu Luwu Andi Jemma, yang pro Republik. (Kedua Raja ini ketika NICA dapat mengembalikan kekuasaan Belanda di Sulawesi Selatan dipecat dari jabatannya).
Para ulama yang tergolong dalam apa yang disebut parewa sara1 itu dalam lapangan pendidikan agama Islam, tetap juga berusaha mengembangkan dakwah Islam menurut cara zaman lampau, yaitu menggunakan sarana mesjid dan tempat kediaman mereka untuk mendidik muridmurid yang mendatanginya. Setelah NICA dapat mengembalikan kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda, dengan mempergunakan tenagatenaga bumiputera Bugis—Makassar, maka bahagian terbesar pemuka-pemuka masyarakat, terutama kalangan pemimpin Muhammadiyah ditangkap atau ditawan. Mereka yang tidak tertawan, menggabungkan diri ke dalam kubu perlawanan seperti di Polombangkeng atau berangkat ke pulau Jawa, menggabungkan diri ke badan-badan perjuangan di sana.
Raja-raja Zelfbestuur Bone dan Lawu (Andi Mappanyukki dan Andi Jemma) seperti disebut di bagian depan dipecat dari jabatannya. Andi Pabbenteng diangkat sebagai Raja Bone dan segera memihak NICA (Belanda). Dengan raja-raja Zelfbestuur lainnya yang pro Belandajdirintislah pembentukan Hadat Tinggi Sulawesi Selatan dalam rangka ketata-negaraan NIT (Negara Indonesia Timur). Raja Bone Andi Pabbenteng, menjadi Ketua Hadat Tinggi dan Raja Gowa, Andi Ijo menjadi Wakil Ketuanya. Adapun negeri-negeri yang pada zaman Hindia Belanda bukan negeri Zelfbestuur, pada zaman itu dijadikannya juga negeri Kesatuan Adat. Kepala negerinya disebut Ketua Hadat, dan menjadi anggota Hadat Tinggi. Arung Matoa Wajo, Datu Soppeng dan Addatuang Sidenreng, menyusun kembali aparat adat dengan berpedoman kepada struktur kekuasaan zaman kerajäan Bugis— Makassar, abad XVI — XVII yang lalu. Pada zaman ini Bone dan Gowa nampak menjadi pemegang peranan kepeloporan.
Dengan terbentuknya Hadat Tinggi untuk seluruh daerah Sulawesi Selatan dan Kesatuan Adat sebagai negerinegeri bawahannya, maka organisasi sara'pun direncanakan untuk mengikuti struktur organisasi adat itu. Parewa sara' atau pejabat-pejabat sara', yang terdiri atas Kadhi sebagai penghulu, Khatib, Imam, Amil dan sebagainya sebagai bawahan organiknya, diadakan pada tiap-tiap Kesatuan Adat negeri. Dalam tahun 1947, Hadat Tinggi Sulawesi Selatan mengambil prakarsa untuk membentuk Sara' Tinggi Sulawesi Selatan. Organisasi Sara' Tinggi Sulawesi Selatan itu, akan mendampingi Hadat Tinggi dalam mengurus hal-hal yang bertalian dengan urusan keagamaan di Sulawesi Selatan, seperti Pengadilan Sara ' Tinggi dan sebagainya.
Seorang Ketua Sara' Tinggi akan membawahi segenap Parewa Sara' yang terdapat di negeri-negeri adat bawahan, sebagaimana adanya dengan organisasi Hadat Tinggi, yang membawahi segenap Ketua Adat negeri di Sulawesi Selatan. Sebuah pertemuan yang dihadiri oleh para Kadhi dan Ulama dari semua negeri Kesatuan Adat Sulawesi Selatan diadakan pada tahun 1948, maksudnya untuk merealisasi gagasan pembentukan Sara' Tinggi itu. Pertemuan yang juga dihadiri oleh para Ketua Adat dan Pimpinan Hadat Tinggi mendapat tantangan yang kuat dari para ulama yang tidak tergolong dalam parewa sara' atau pejabat sara'. Gagasan untuk membentuk organisasi Sara' Tinggi atau Majelis Islam Tinggi, yang meliputi seluruh negeri di Sulawesi Selatan tidak dapat terwujud, karena sebahagian besar ulama terkemuka di Sulawesi. Selatan yang tidak terikat pada kedudukan parewa sara' tidak sependapat dengan gagasan itu.
Ulama-ulama dari kalangan Muhammadiyah dan yang pro Republik Indonesia, mulai memusatkan perhatiannya kepada pengembangan pendidikan Islam dan pembangunan sarana-sarana untuk tempat pendidikan dan ibadat. Seorang ulama yang berasal dari Sumatra Barat yang dibawa Belanda ke Australia pada masa pendudukan Jepang (ia masih dalam pembuangan) kembali ke Indonesia dengan bantuan NICA dan menetap di Makassar, dapat dianggap seorang di antara banyak ulama di Sulawesi Selatan, khususnya Makassar, yang mempelopori kembali kegiatan pendidikan dan dakwah Islam pada zaman NIT. Ulama itu ialah Haji Mokhtar Luthfi. Beliau menjadi tenaga yang kuat dalam pembangunan Mesjid Raya Makassar dan bersama-sama dengan para pengasuh Perguruan Islam di Makassar, serta para pemuka Muhammadiyah menggembleng mubaligh-mubaligh Islam.
Usaha-usaha pendidikan melalui sekolah-sekolah Muhammadiyah dan perguruan-perguruan Islam lainnya, mulai dibangun kembali baik di kota Makassar, maupun dibeberapa tempat di Sulawesi Selatan. Ulama-ulama dari Jawa dan Sumatra didatangkan untuk mengajar pada sekolah-sekolah Muallimin Muhammadiyah baik di kota Makassar, maupun di pedalaman Sulawesi Selatan. Nama-nama ulama seperti S.S. Majidi, yang pada masa sulitsulitnya keadaan politik di daerah ini, dengan segala kemampuannya mencurahkan perhatian dalam lapangan pendidikan Islam di pedalaman Sulawesi Selatan. Beliau berdiam di desa Ponre (Bulukumba) tempat madrasahnya didirikan bersama-sama masyarakat setempat.
Di Gowa, atas inisiatif Daengta Kalia ri Gowa (Kadhi Gowa) dengan mendapat dukungan dari Kerajaan Gowa dan pegawai-pegawai sara' dalam kerajaan Gowa, berhasil mendirikan persatuan pegawai sara' Gowa. Organisasi ini berhasil mendirikan Madrasah dibeberapa tempat dalam daerah Gowa, yang sejajar dengan Sekolah Dasar Umum. Pada madrasah-madrasah itu diberikan pendidikan dasar agama. Sebahagian besar muridnya adalah juga murid-murid Sekolah Dasar Umum yang bersekolah pada pagi hari. Pada sore harinya mereka memperoleh pendidikan agama dari maf drasah-madrasah. Pengajian-pengajian di rumah-rumah guru agama dan di mesjid-mesjid, berlangsung terus sebagai biasa.
Di Singkang (Wajo), walaupun Arung Matoa Wajo termasuk anggota Hadat Tinggi Sulawesi Selatan yang terkemuka, orang-orang bangsawan Wajo lainnya yang tidak terikat dalam struktur baru kekuasaan Tana Wajo masih dapat mengembangkan usaha-usahanya untuk mengembangkan pendidikan Islam yang bebas dari sekalian pengaruh politik. Haji As'ad, ulama paling terkemuka di Sulawesi Selatan pada waktu itu tetap melanjutkan usahanya membina murid-muridnya dalam Madrasatul Arabiah Islamiah (MAI) yang bebas dari pengaruh aliran-aliran politik yang sedang berkecamuk memperebutkan pengaruh di kalangan masyarakat. Pendidikan agama yang diselenggarakan oleh Haji As'ad dengan murid-muridnya yang terkemuka, menjadi tempat yang ramai dikunjungi oleh pemuda-pemuda dari segenap pelosok Sulawesi Selatan, bahkan ada yang datang dari kepulauan Indonesia lainnya, terutama Kalimantan.
***
Sumber:
Dr. Taufik Abdullah. 1983. Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali
***
Sumber:
Dr. Taufik Abdullah. 1983. Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali
Tidak ada komentar untuk "Pendidikan Islam Pasca Kemerdekaan Indonesia"
Posting Komentar