Struktur Sosial Masyarakat Aceh Sebelum Dikuasai Oleh Belanda
Penggolongan Masyarakat
Sebelum Aceh dapat diperintah Belanda, penggolongan masyarakat adalah sebagai berikut :
1. Golongan Hulubalang (Uluebalang) yaitu golongan yang memerintah negeri. Golongan ini, mula-mula juga merupakan rakyat biasa. Tetapi karena mempunyai wibawa, disebabkan kekayaan, keberanian kecakapan dalam mengatur dan memimpin, maka ia diangkat menjadi kepala rakyat. Kemudian, mengingat jasa-jasanya, ditambah pula bahwa biasanya anak mereka banyak yang mengikuti jejak orang tuanya, maka sesudah ia meninggal, diangkat pula anaknya sebagai pengganti. Sesudah keadaan demikian berjalan lama, maka kecakapan dan kemampuan anak tidak lagi menjadi pertimbangan, tetapi jabatan memerintah itu sudah dianggap sebagai sesuatu peninggalan yang harus diwarisi.
Baca juga: Ulama Aceh dan Dasar Pengakuannya
2. Golongan Ulama atau golongan ahli dan pengajar agama. Golongan ini berasal dari rakyat biasa. Tetapi karena ketekunannya belajar, mereka memperoleh berbagai ilmu pengetahuan. Tentu ada perbedaan antara satu dengan lainnya tentang dalam dangkalnya pengetahuan yang mereka miliki masing-masing, sebagai juga berbeda tentang banyak-sedikitnya bidang pengetahuan yang mereka kuasai. Dahulu sebelum diperintah oleh Belanda, para ulama selain dari menguasai ilmu pengetahuan bidang agama, juga banyak diantara mereka yang menguasai pula bidang-bidang lain.
Ikon Aceh (republika)
3. Golongan saudagar, yaitu golongan orang kaya Golongan inipun berasal dari rakyat biasa yang mempunyai nasib lebih baik dalam usaha mereka mendapatkan kekayaan.
4. Golongan Tani, golongan inilah yang terbanyak. Dan golongan ini pula yang merupakan golongan asli. Artinya tiga golongan lainnya adalah berasal dari golongan tani ini.
5. Golongan terpelajar/pegawai. Yang dimaksudkan dengan terpelajar ialah mereka yang telah mengenyam pendidikan Barat, lalu diangkat menjadi pegawai pemerintah. Tetapi golongan ini tidak banyak pada masa Belanda karena pada umumnya rakyat Aceh tidak mau bekerja pada pemerintah Belanda, disebabkan pengaruh permusuhan belum lagi padam dalam jiwa rakyat. Baru pada masa Jepang, keinginan bekerja pada pemerintah mulai timbul dan bertambah subur pada masa kemerdekaan.
Hal inipun disebabkan pengaruh ulama, yang pada masa Belanda mengharamkan orang muslim bekerja pada kafir harby, artinya kafir yang dalam keadaan perang dengan kaum muslimin. Tetapi pada masa Jepang, ulama memberi fatwa bahwa Jepang meskipun kafir, tetapi bukan kafir harby, sebab mereka tidak berperang dengan kita, malahan membantu kita mengusir musuh kita kafir harby Belanda. Oleh karena itu, bekerja pada pemerintah Jepang tidak haram Apa lagi sesudah masa kemerdekaan, pemerintah memang sudah pemerintah kita sendiri.
6. Golongan Buruh, yaitu golongan inipun tidak begitu banyak.
Hubungan Antara Golongan
Berbagai Golongan Sebelum masa Belanda, hubungan antara empat golongan tersebut pertama adalah baik sekali. Masing-masing golongan menghormati golongan lainnya secara wajar. Mereka saling bantu membantu. Khusus mengenai golongan Hulubalang dan golongan Ulama, mereka saling nasehatmenasehati. Di samping Hulubalang yang menjadi Kepala rakyat, selalu ada seorang ulama yang bertindak sebagai penasehat hukum.
Melihat perlawanan terhadap Belanda lebih banyak dilakukan oleh para ulama, atau setidak-tidaknya dengan semangat agama yang dikobarkan oleh ulama, maka demi kepentingan siasat pemerintahannya Belanda sejak memerintah Aceh, melakukan usaha-usaha untuk merusak kerja sama yang baik antara golongan Hulubalang dan golongan ulama. Usaha ini ada yang berhasil dan ada pula yang tidak.
Pidie adalah contoh yang baik untuk menunjukkan sebagai tempat yang berhasil usaha Belanda itu, sedang Aceh Utara, juga baik untuk dikemukakan sebagai contoh tempat yang kurang berhasilnya usaha Belanda itu, sehingga nampak kita lihat masih adanya kerjasama yang diwarisi dari zaman sebelum Belanda. Di antara faktor yang membantu usaha Belanda di Pidie ialah terlalu banyaknya Hulubalang di sana, sehingga masing-masing mereka hanya mempunyai daerah yang kecil saja. Dengan demikian tentulah tidak banyak penghasilan mereka. Hal ini mengakibatkan timbulnya pikiran untuk mencari jalan tambahan penghasilan.
Di antara jalan itu ada yang bertentangan dengan Agama. Karena bertentangan dengan agama, tentulah para ulama berusaha untuk mencegahnya. Mula-mula dengan cara baik. Usaha para ulama untuk mencegahnya perbuatan yang bertentangan dengan agama itu, jarang yang berhasil. Dengan demikian timbullah rasa tidak enak. Apa lagi kalau usaha para ulama itu ditolak mentah-mentah. Dengan dalih bahwa daerah Pidie bukanlah daerah yang diperintah langsung oleh Belanda, melainkan merupakan Zelfbestuurgedied (daerah yang memerintah diri sendiri), maka Belanda membiarkan saja tindakan Hulubalang yang berstatus Zelfbestuurder itu bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya.
Lain halnya dengan di Aceh Utara yang Zelfbestuurdernya mempunyai daerah yang jauh lebih luas dari daerah para Zelfbestuurder di Pidie.
Oleh karenanya pendapatan mereka cukup, maka tidak perlu melakukan hal-hal yang menimbulkan ketegangan dengan para ulama. Sebaliknya, malahan mereka sanggup membantu usaha-usaha ulama mendirikan madrasah-madrasah dalam daerahnya. Hal ini berjalan terus sampai Jepang datang. Sejak Jepang datang, terjadilah salah paham antara Hulubalang dengan para Ulama. Ini terjadi karena waktu koloni kelima Jepang yang bernama Fujiwara Kikan datang ke Aceh, disambut oleh para Ulama yang tergabung dalam P.U.S.A. (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) tanpa diketahui oleh para Hulubalang. Para ulama berpendapat bahwa itu perlu disambut dalam rangka mengusir penjajah Belanda.
Tetapi hal ini sangat berbahaya kalau sampai diketahui oleh pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu harus dikerjakan dengan sangat rahasia, tidak boleh diketahui oleh banyak orang, lebih-lebih lagi orang-orang yang dekat hubungannya dengan pemerintah Hindia Belanda. Para Hulubalang, karena jabatannya, dekat dengan pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu para ulama tidak berani menyampaikan hal itu kepada mereka, meskipun mereka orang .yang dekat pula dengan para ulama dan dekat pula dengan rakyat. Karena kebocoran rahasia, tidak hanya disebabkan pengkhianatan, tetapi mungkin juga dengan cara yang tidak disengaja. Oleh karena itu, kecuali di Aceh Besar, gerakan Fujiwara Kikan itu tidak diketahui oleh para Hulubalang.
Sebagai contoh kita ambil saja Zelfbestuurder dari Peusangan Teuku Haji Chik Muhammad Johan Alamsyah. Ia dengan Belanda rapat sekali dan dengan ulama dan rakyat pun hubungannya paling baik. Demikian baiknya sehingga waktu didirikan P.U.S.A. di Matanggelumpang Dua pada bulan Mei 1939, ia diangkat menjadi Beschemheer (Pelindung) Hoofdbestuur (Pengurus Besar) P.U.S.A. oleh karena terlalu dekat baik kepada Belanda maupun kepada Ulama, maka ada hulubalang lain yang iri.
Pada umumnya Hulubalang yang baik dengan rakyat, dicopot dari jabatannya dan dibuang ke luar Aceh, seperti Teuku Chik M. Thaib Peureulak, Teuku M. Said Cunda dan Teuku Bujang Krueng Geukueh. Sebaliknya yang baik dengan Belanda, kurang baik dengan rakyat. Oleh karena itu Teuku Cut Hasan Cet, setelah mendengar Teuku Haji Chik Muhammad Johan Alamsyah diangkat menjadi Beschemheer H.B.-P.U.S.A., menuduhnya ingin menjadi Sultan Aceh lewat P.U.S.A. Teuku Cut Hasan menafsirkan P.U.S.A. dengan Persatuan Untuk Sulthanat Aceh.
Itulah sebabnya maka Teungku Abd. Rahman Meunasah Meucap di Matanggelumpang Dua dan Teungku Haji Abubakar Ibrahim di Bireuen yang mempelopori penerimaan Fujiwara Kikan di Aceh Utara, tidak berani memberitahukan hal itu kepada Hulubalang-hulubalang di Aceh Utara, termasuk Teuku Haji Chik Muhammad Johan Alamsyah, Hulubalang Peusangan.
Melihat tokoh-tokoh P.U.S.A. memakai leter "F" dilengannya waktu Jepang mendarat, disusul dengan penunjukan mereka untuk menggantikan Belanda sebagai Controleur (Wedana), maka para Hulubalang diluar Aceh Besar, merasa ditinggalkan oleh para ulama untuk maksud-maksud yang kurang baik. Hal ini lebih-lebih dirasakan oleh para Hulubalang yang tadinya sangat rapat dengan ulama. Mereka berkecil hati dalam hal itu. Mereka tidak dapat merasakan bagaimana riskan tindakan membantu Fujiwara Kikan yang menurut kacamata pemerintah Hindia Belanda tentulah perbuatan itu merupakan memberi bantuan kepada musuh meskipun menurut kacamata Indonesia, itu termasuk dalam rangka perjuangan mengusir musuh untuk merebut kembali kemerdekaan yang sudah hilang.
Keretakan itu mengakibatkan adanya laporan-laporan yang mencurigakan Jepang terhadap para ulama, terutama yang tergabung dalam P.U.S.A. Sehingga banyak di antara mereka yang ditangkap Jepang; diantaranya Teungku M. Daud Beureu-eh Teungku Abd. Wahab Keunaloe Seulimeum, T M Amin, Teungku Amir Husin Al-Mujahid, Teungku Abubakar Adamy dan lain-lain. Mereka diperiksa oleh Kempetai Jepang yang sangat terkenal kejamnya. Setelah ditahan beberapa lama mereka dilepaskan kembali, karena sesudah diperiksa, ternyata mereka tidak bersalah seperti yang dilaporkan orang. (Ismuha, 1969: 37).
***
Sumber:
Dr. Taufik Abdullah. 1983. Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali
***
Sumber:
Dr. Taufik Abdullah. 1983. Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali
Tidak ada komentar untuk "Struktur Sosial Masyarakat Aceh Sebelum Dikuasai Oleh Belanda"
Posting Komentar