Ulama Aceh dan Dasar Pengakuannya

Pengertian Ulama

Perkataan ulama berasal dari bahasa Arab, jama' (plural) dari kata 'alim yang berarti orang yang mengetahui, orang yang berilmu. Ulama berarti para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan atau para ilmiawan. 

 Ulama Aceh sedang dalam acara sidang muzakarah pada perkumpulan ulama

Pemakaian perkataan ini di Indonesia agak bergeser sedikit dari pengertian aslinya dalam'bahasa Arab. Di Indonesia, alem diartikan seorang yang jujur dan tidak brmyak bicara. Perkataan Ulama dipakai dalam arti mufrad (singular) sehingga kalau dimaksud jama', ditambah perkataan para sebelumnya, atau diulang, sesuai dengan kaedah bahasa Indonesia, sehingga menjadi para ulama atau ulama-ulama Bandingkan Alfian, 1975: 22). 


Baca juga: Struktur Sosial Masyarakat Sebelum Dikuasai Oleh Belanda



Di Aceh khususnya dan di Indonesia pada umumnya, perkataan ulama hanya digunakan untuk para ahli agama Islam saja. Tetapi sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno menggunakan juga perkataan ulama itu untuk para ahli agama Budha dan Hindu, para ahli agama Khatolik dan para ahli agama Kristen, sehingga dalam M.P.R.S. terdapat golongan ulama yang terdiri dari Ulama Islam, Ulama Khatolik, Ulama Kristen, serta Ulama Hindu dan Ulama Budha. 

Yang dimaksud dengan Ulama dalam judul tulisan ini adalah Ulama Islam. Karena selain dari lebih dekat dengan pengertian aslinya, juga karena sampai sekarang, orang Aceh yang tinggal di Aceh, tidak ada yang beragama selain dari agama Islam.

Dasar Pengakuan Masyarakat

Gelar ulama diperoleh seseorang dengan dua syarat: 

Pertama: mempunyai pengetahuan Agama Islam,
Kedua: pengakuan masyarakat. 

 

Syarat pertama dapat dipenuhi oleh seseorang sesudah ia menempuh masa belajar yang cukup lama. Syarat kedua, baru dapat dipenuhi sesudah masyarakat melihat ketaatannya terhadap ajaran Islam disamping pengetahuannya tentang ajaran itu. Mengetahui saja tanpa mengamalkan pengetahuan itu, tidak cukup untuk menarik pengakuan dari masyarakat. Hal ini disebabkan, karena pengakuan sebagai ulama, diiringi dengan penghormatan terhadap orang yang diakui itu. Sedang terhadap orang yang mengetahui saja tanpa mengamalkan, tidak ada penghormatan itu, bahkan sebaliknya akan mendapat celaan, lebih dari celaan terhadap orang yang tidak mengamalkan, sedang ia pun tidak mengetahui.

***
Sumber:

Dr. Taufik Abdullah. 1983. Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali

Tidak ada komentar untuk "Ulama Aceh dan Dasar Pengakuannya"