Misteri Mesjid-Mesjid Tertua di Aceh, Warisan Sejarah yang Tak Terduga!"

Masjid-masjid kuno di Aceh memiliki arsitektur khas yang menggunakan material dari alam sekitar, seperti batu gunung, tanah liat, kayu, dan daun rumbia. Atapnya berbentuk tumpang dan pelana (Syafwandi, 1988:41).

Masjid Baiturrahman Aceh

Sejarah perkembangan masjid di Indonesia beriringan dengan proses penyebaran Islam. Pembangunan masjid mengikuti pola perkembangan dan kebutuhan masyarakat pada masanya. Dari Aceh, Islam menyebar ke berbagai daerah di Indonesia, menjadikan masjid-masjid di Aceh sebagai yang tertua di Nusantara. Seiring waktu, model "Masjid Aceh" dikenal luas dan menjadi inspirasi bagi pembangunan masjid di berbagai wilayah Indonesia, termasuk masjid yang disebut "Masjid Para Wali" di Jawa. Hal ini menunjukkan adanya hubungan historis antara para wali di Jawa dengan ulama dari Aceh.

Masjid-Masjid Bersejarah di Banda Aceh

Di Kota Banda Aceh, terdapat empat masjid kuno yang memiliki nilai historis tinggi, yaitu:

  1. Masjid Raya Baiturrahman
  2. Masjid Teungku Di Anjong
  3. Masjid Teungku Di Bitai
  4. Masjid Ulee Lheu

Dari keempat masjid tersebut, Masjid Raya Baiturrahman paling terkenal dan tercatat dalam inventaris nasional sebagai warisan sejarah. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai dua masjid bersejarah lainnya yang patut mendapat perhatian, yaitu Masjid Teungku Di Anjong dan Masjid Ulee Lheu.

A. Masjid Teungku Di Anjong

Masjid Teungku Di Anjong terletak di Kelurahan Pelanggahan, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh. Masjid ini didirikan pada abad ke-18 M oleh Syekh Abubakar Bin Husin Bafaqih, seorang ulama dari Hadramaut, Arab Saudi. Masjid ini memiliki konstruksi semi permanen bergaya Timur Tengah dengan atap tumpang yang telah dimodifikasi sebagai ciri khas Masjid Aceh. Bahan bangunan yang digunakan meliputi kayu, seng, semen, batu, papan, dan marmer. Masjid ini berdiri di atas tanah wakaf seluas 4 hektare.

Sejarah mencatat bahwa masjid ini didirikan pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah (1287-1290 H/1870-1874 M), seorang raja yang alim dan peduli terhadap perkembangan Islam. Nama "Teungku di Anjong" merupakan julukan yang diberikan oleh masyarakat Pelanggahan untuk menghormati Syekh Abubakar Bin Husin Bafaqih. Sebelum membangun masjid, beliau lebih dulu memanfaatkan rumahnya sebagai tempat pengajian dan asrama bagi murid-muridnya. Karena jumlah murid yang semakin banyak, akhirnya dibangunlah masjid ini yang tidak hanya digunakan untuk ibadah, tetapi juga untuk musyawarah dan pengajian.

Masjid ini juga memiliki peran penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada masa revolusi, masjid ini dijadikan markas perjuangan oleh laskar Aceh dalam mempertahankan kemerdekaan dari penjajah Belanda (Zein, 1999:21). Oleh karena itu, Masjid Teungku Di Anjong tercatat sebagai salah satu masjid bersejarah di Banda Aceh.

B. Masjid Ulee Lheu

Masjid Ulee Lheu terletak di Desa Ulee Lheu, Kecamatan Meuraksa, Kota Banda Aceh. Berdasarkan catatan inventaris benda cagar budaya yang diterbitkan oleh Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Aceh dan Sumatera Utara pada tahun 2001, luas situs masjid ini mencapai 172 m² dan berdiri di atas tanah wakaf.

Masjid ini merupakan bangunan abad ke-19 yang telah mengalami renovasi pada tahun 1989 dengan dana swadaya masyarakat. Akibat renovasi ini, struktur aslinya mengalami perubahan. Dari segi arsitektur, gaya bangunannya dari arah timur laut menyerupai gaya Gotik Eropa, terutama pada lengkungan pilar pintu masuk. Masjid ini tidak memiliki kubah atau menara, dan atapnya terbuat dari seng. Di puncak serambi masjid terdapat ukiran ayat Al-Qur’an yang menyerupai bentuk kubah.

Beberapa ornamen menghiasi masjid ini, termasuk kaligrafi Arab pada dinding dan tangga, serta pola hias berbentuk belah ketupat, sulur-sulur daun, dan bunga teratai. Jendela masjid terbuat dari kayu jati dengan model gaya Eropa. Meskipun tetap terawat dan berfungsi, letaknya yang strategis di persimpangan jalan Ulee Lheu membuatnya sering dikunjungi. Sayangnya, gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 menghancurkan sebagian struktur masjid ini.

C. Masjid Indrapuri

Masjid Indrapuri terletak di Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar, sekitar 25 km sebelah timur Kota Banda Aceh. Masjid ini memiliki sejarah panjang karena didirikan di atas bekas candi Hindu yang kemudian dialihfungsikan menjadi masjid setelah Islam berkembang di wilayah ini.

Sejarah mencatat bahwa pada abad ke-12 M, Kerajaan Lamuri yang beragama Hindu diserang oleh bajak laut dari Cina. Pada saat itu, seorang ulama bernama Teungku Abdullah Lampeuneueun dari Perlak, bersama seorang pangeran bernama Meurah Johan, datang untuk mengajak Raja Lamuri memeluk Islam. Setelah peperangan melawan bajak laut Cina dimenangkan, Raja Lamuri pun masuk Islam dan diberi gelar "Sultan Alaiddin Johansyah Dhilullah Fil’alam." Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), wilayah ini berada di bawah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Masjid Indrapuri tetap berfungsi hingga kini dan menjadi situs cagar budaya yang dilindungi.

D. Masjid Indrapurwa

Sebelum tsunami 2004, di Kabupaten Aceh Besar terdapat Masjid Indrapurwa yang terletak di Desa Lambadeuk, Kecamatan Pekan Bada, sekitar 10 km ke arah barat Kota Banda Aceh. Akses menuju masjid ini dapat ditempuh melalui Pasar Ulee Lheu.

Masjid ini didirikan pada abad ke-17 M, pada masa kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Arsitekturnya mengadopsi bahan dari batu dan kayu, dengan luas bangunan 10,60 x 10,60 meter di atas tanah wakaf seluas 25 x 50 meter. Konstruksi terakhir masjid ini terdiri dari lantai beton, tiang kayu, dinding beton, dan atap seng.

Masjid Indrapurwa memiliki atap tumpang khas "Masjid Aceh" dan konstruksi semi permanen yang memberikan kesan terpisah dari bangunan dasar masjid. Jika diamati dari dalam, arsitekturnya menyerupai Masjid Indrapuri, yang dibangun di dalam struktur benteng pertahanan. Dari luar, bangunannya lebih mirip Masjid Teungku Di Anjong. Di sekitar masjid ini terdapat "guci" besar untuk mencuci kaki sebelum masuk ke dalam masjid serta batu injakan di sampingnya. Untuk memasuki masjid, terdapat dua anak tangga naik dan turun.

Baca juga: Sejarah Singkat Kolonialisme di Indonesia

Masjid-masjid kuno di Aceh merupakan saksi bisu perjalanan sejarah Islam di Nusantara. Keberadaannya tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga pusat penyebaran Islam, tempat pendidikan, serta benteng perjuangan dalam berbagai peristiwa sejarah.

Tidak ada komentar untuk "Misteri Mesjid-Mesjid Tertua di Aceh, Warisan Sejarah yang Tak Terduga!""