Pemikiran Tasawuf Modern Hamka
Salah satu karya fenomenal Hamka sepanjang hidupnya ialah Tasawuf Modern. Tasawuf Modern merupakan karya Hamka yang didalamnya berisi etika-etika kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Baik itu etika ketika dia bekerja sebagai seorang dokter, pejabat, guru, hakim atau lainnya sebagainya.
Sejarah dan Latar Belakang Hamka
Hamka merupakan singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Abdullah (1908-1981). Ia adalah orang yang mempunyai integritas yang tinggi dalam bidang moral dan keilmuan. Hamka terkenal sebagai ulama dan cendekiawan terkemuka di Indonesia. Selain itu, dengan pemikirannya, ia mampu menguasai beberapa bidang keilmuan, antara lain tafsir yaitu tafsir Al Azhar sebanyak 30 juz, tasawuf yaitu Tasawuf Modern, Renungan Tasawuf serta Tasawuf Dan Perkembangannya. Fiqh, sejarah yaitu buku Sejarah Umat Islam , filsafat, dan sastra yaitu buku judul “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kabah, Robohnya Suara Kami” dan lainnya. Bahkan beberapa dari novel tersebut kemudian di filmkan. Dengan itu, banyak ilmuwan yang memberikan predikat kepadanya seperti Jamesh Rush, Gerard Mousay, yang memberikan predikat kepadanya sebagai seorang sejarawan, antropolog, sastrawan, ahli politik, jurnalis dan islamolog (Yusuf,1990, hal. 15).
Sejarah dan Latar Belakang Hamka
Hamka merupakan singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Abdullah (1908-1981). Ia adalah orang yang mempunyai integritas yang tinggi dalam bidang moral dan keilmuan. Hamka terkenal sebagai ulama dan cendekiawan terkemuka di Indonesia. Selain itu, dengan pemikirannya, ia mampu menguasai beberapa bidang keilmuan, antara lain tafsir yaitu tafsir Al Azhar sebanyak 30 juz, tasawuf yaitu Tasawuf Modern, Renungan Tasawuf serta Tasawuf Dan Perkembangannya. Fiqh, sejarah yaitu buku Sejarah Umat Islam , filsafat, dan sastra yaitu buku judul “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kabah, Robohnya Suara Kami” dan lainnya. Bahkan beberapa dari novel tersebut kemudian di filmkan. Dengan itu, banyak ilmuwan yang memberikan predikat kepadanya seperti Jamesh Rush, Gerard Mousay, yang memberikan predikat kepadanya sebagai seorang sejarawan, antropolog, sastrawan, ahli politik, jurnalis dan islamolog (Yusuf,1990, hal. 15).
Abdurrahman Wahid, ulama,cendekiawan serta mantan presiden Republik Indonesia menilai Hamka sebagai seorang intelektual yang mempunyai pengetahuan yang banyak, baik pengetahuan agamanya maupun pengetahuan umumnya. Hamka menguasai berbagai keilmuan seperti tafsir, tasawuf, ilmu kalam atau teologi Islam, pendidikan dan sastra yang sudah banyak dikaji oleh tokoh. Akan tetapi di bidang tasawuf masih sedikit tokoh yang mengkajinya (Haris, 2010, hal. 3). Dalam kajian tasawuf , etika pemikiran hamka tertuang dalam beberapa buku antara lain: Tasawuf Moden Falsafah Hidup (Hamka, 2002) Lembaga Hidup (Hamka, 1983), Lembaga Budi (Hamka, 1983), Akhlakul Karimah (Hamka, 1992), serta buku Hamka yang lainnya antara lain: Pelajaran Agama Islam, Pandangan Hidup Muslim, Tafsir Al Azhar, dan Dari Hati Ke Hati (Hamka, 1983, hal. 336).
Pemikiran Tasawuf Modern Hamka
Perilaku zuhud bagi Hamka adalah siap miskin, siap kaya, dan bersedia untuk tidak mempunyai uang sepeser pun, dan bersedia untuk menjadi milyuner, namun harta tidak menjadi sebab melupakan Tuhan dan lalai terhadap kewajiban. Zuhud tidak berarti ekslusif dari kehidupan dunia, sebab hal ini dilarang oleh Islam. Islam menganjurkan semangat untuk berjuang, semangat berkorban, dan bekerja bukan malas-malasan (Syukur, 1997, hal. 131). Hamka atau akrab dipanggil sebagai Buya Hamka lahir di Sungai Batang, kampung Molik di tepi danau Maninjau pada tanggal 14 Muharram 1326 H/ 17 Pebruari 1908 M. Ayahnya adalah seorang ulama pemimpin sebuah madrasah “Sumatera Tawalib” di Padang Panjang. Pada bulan Februari 1927, ia pergi ke Makkah selama satu tahun untuk menuntut ilmu. Sekembalinya dari Makkah, ia aktif dalam kegiatan Muhammadiyah. Ia aktif sebagai dosen di berbagai perguruan tinggi, seperti PTAIN Yogyakarta, UI Jakarta, Universitas Muhammadiyah Padang Panjang, USM Makassar dan UISU Sumatera Utara. Dalam bidang akademiknya, ditandai dengan diangkatnya beliau sebagai Guru Besar Universitas Dokter Mustopo (1966), dan pada tahun 1975 dipercaya menjadi ketua MUI. Dia dikenal sebagai seorang ulama dan sastrawan. Dia meninggal dunia pada tahun 1981, dengan usia 78 tahun.
Dalam tasawuf modern yang ditawarkan oleh Hamka, seorang sufi harus menempatkan Tuan dalam skala “tauhid”. Tauhid dini artinya : Tuhan yang Esa itu ada pada posisi transenden (berada di luar dan di atas terpisah dari makhluk) tetapi sekaligus terasa dekat dalam hati (qalb). Pengertian ini merupakan gabungan antara konsep keakidahan (ilmu kalam) dan konsep “ihsan” menurut Rasulullah SAW. Dengan demikian Tuhan tidak ditempatkan “terlalu jauh” tetapi juga tidak “terlalu dekat”. Akidah ini disebut juga dengan akidah sufisme (meminjam istilah Prof. Dr. Simuh). Ajaran Tauhid sangat ditekankan oleh Hamka, karena bagi dia selama abad ke tiga belas, empat belas dan lima belas, ketika perkembangan Islam ke Indonesia, maka ajaran Islam itu sendiri di seluruh negeri-negeri Islam sedang dipengaruhi oleh ajaran tasawuf yang telah banyak menyeleweng dari pangkalnya. Baik ketika kita pergi ke Mesir, Asia Tengah, Islam diliputi oleh tasawuf yang terpengaruh oleh berbagai macam ajaran yang bukan aslinya. Setelah abad ke tujuh belas, banyak orang Hadramaut datang ke Indonesia yang bermadzab “Syafi’i”. Mereka pun membawa pemujaan kubur dan keramat yang dinamakan “haul” setiap tahun di samping memperteguh pangaruh madzab Syafi’i tersebut.
Tasawuf di Indonesia banyak dipengaruhi dari Persia (Iran) dan India (Hamka, 1994, hal. 226). Hamka menekankan bertasawuf lewat taat peribadatan (ibadah) yang dituntunkan agama dan merenungkan hikmah (semangat Islam yang tersembunyi) di balik seluruh bentuk dan macam peribadatan itu. Kehidupan tasawuf seseorang baru dapat dikatakan berhasil jika pada diri seseorang tersebut tampak etos sosial yang tinggi, kepekaan sosial yang tinggi (karamah dalam arti sosio-relgius) Sama dengan juga kehormatan yang disebabkan kiprah dan jasa sosial yang dimotivasi oleh dorongan kesalehan dalam menjalankan syariah agama). Inilah yang disebut dengan refleksi hikmah. Tasawuf juga bukanlah menjadi suatu tujuan. Tasawuf merupakan buah hasil dari pelaksanaan peribadahan yang benar dan ikhlas (Damami, 2000, hal. 218).
Pemikiran Tasawuf Modern Hamka
Perilaku zuhud bagi Hamka adalah siap miskin, siap kaya, dan bersedia untuk tidak mempunyai uang sepeser pun, dan bersedia untuk menjadi milyuner, namun harta tidak menjadi sebab melupakan Tuhan dan lalai terhadap kewajiban. Zuhud tidak berarti ekslusif dari kehidupan dunia, sebab hal ini dilarang oleh Islam. Islam menganjurkan semangat untuk berjuang, semangat berkorban, dan bekerja bukan malas-malasan (Syukur, 1997, hal. 131). Hamka atau akrab dipanggil sebagai Buya Hamka lahir di Sungai Batang, kampung Molik di tepi danau Maninjau pada tanggal 14 Muharram 1326 H/ 17 Pebruari 1908 M. Ayahnya adalah seorang ulama pemimpin sebuah madrasah “Sumatera Tawalib” di Padang Panjang. Pada bulan Februari 1927, ia pergi ke Makkah selama satu tahun untuk menuntut ilmu. Sekembalinya dari Makkah, ia aktif dalam kegiatan Muhammadiyah. Ia aktif sebagai dosen di berbagai perguruan tinggi, seperti PTAIN Yogyakarta, UI Jakarta, Universitas Muhammadiyah Padang Panjang, USM Makassar dan UISU Sumatera Utara. Dalam bidang akademiknya, ditandai dengan diangkatnya beliau sebagai Guru Besar Universitas Dokter Mustopo (1966), dan pada tahun 1975 dipercaya menjadi ketua MUI. Dia dikenal sebagai seorang ulama dan sastrawan. Dia meninggal dunia pada tahun 1981, dengan usia 78 tahun.
Dalam tasawuf modern yang ditawarkan oleh Hamka, seorang sufi harus menempatkan Tuan dalam skala “tauhid”. Tauhid dini artinya : Tuhan yang Esa itu ada pada posisi transenden (berada di luar dan di atas terpisah dari makhluk) tetapi sekaligus terasa dekat dalam hati (qalb). Pengertian ini merupakan gabungan antara konsep keakidahan (ilmu kalam) dan konsep “ihsan” menurut Rasulullah SAW. Dengan demikian Tuhan tidak ditempatkan “terlalu jauh” tetapi juga tidak “terlalu dekat”. Akidah ini disebut juga dengan akidah sufisme (meminjam istilah Prof. Dr. Simuh). Ajaran Tauhid sangat ditekankan oleh Hamka, karena bagi dia selama abad ke tiga belas, empat belas dan lima belas, ketika perkembangan Islam ke Indonesia, maka ajaran Islam itu sendiri di seluruh negeri-negeri Islam sedang dipengaruhi oleh ajaran tasawuf yang telah banyak menyeleweng dari pangkalnya. Baik ketika kita pergi ke Mesir, Asia Tengah, Islam diliputi oleh tasawuf yang terpengaruh oleh berbagai macam ajaran yang bukan aslinya. Setelah abad ke tujuh belas, banyak orang Hadramaut datang ke Indonesia yang bermadzab “Syafi’i”. Mereka pun membawa pemujaan kubur dan keramat yang dinamakan “haul” setiap tahun di samping memperteguh pangaruh madzab Syafi’i tersebut.
Tasawuf di Indonesia banyak dipengaruhi dari Persia (Iran) dan India (Hamka, 1994, hal. 226). Hamka menekankan bertasawuf lewat taat peribadatan (ibadah) yang dituntunkan agama dan merenungkan hikmah (semangat Islam yang tersembunyi) di balik seluruh bentuk dan macam peribadatan itu. Kehidupan tasawuf seseorang baru dapat dikatakan berhasil jika pada diri seseorang tersebut tampak etos sosial yang tinggi, kepekaan sosial yang tinggi (karamah dalam arti sosio-relgius) Sama dengan juga kehormatan yang disebabkan kiprah dan jasa sosial yang dimotivasi oleh dorongan kesalehan dalam menjalankan syariah agama). Inilah yang disebut dengan refleksi hikmah. Tasawuf juga bukanlah menjadi suatu tujuan. Tasawuf merupakan buah hasil dari pelaksanaan peribadahan yang benar dan ikhlas (Damami, 2000, hal. 218).
Salah satu dari jalan tasawuf adalah kefakiran (poverty). Arti kefakiran (memiliki sesedikit mungkin barang-barang duniawi dipandang secara meyakinkan sebagai yang sangat mungkin mencapai keselamatan) dalam arti sesungguhnya itu bukan berarti semata-mata kekurangan dalam hal kekayaan, tetapi bahkan tidak memiliki keinginan untuk memperoleh kekayaan ini dapat diandaikan kosongnya hati (dari keinginan terhadap perolehan kekayaan) sebagaimana kosongnya tangan (karena tidak memegang apa-apa). Jadi konsep kefakiran itu menampak dengan :tidak memiliki apa-apa, hati pun juga tidak menampak dengan:tidak memiliki apa-apa. Sungguh pun begitu, konsep ini mengandung arti yang sesungguhnya seperti itu. Sebab, bisa saja ada seorang sufi yang punya harta benda banyak, namun dia merasa tidak memiliki harta benda itu, hatinya dapat “berjarak” dengan semua harta kekayaan itu.
Menurut rincian Reynold A Nicholson, terdapat beberapa jalan tasawuf di antaranya: kefakiran (poverty), penahanan diri (mortification), penyerahan diri kepada Tuhan (trust in good) dan dzikir (recollection). Penahanan diri berarti memisahkan nafsu dari hal-hal yang telah di lakukannya, dengan demikian seseorang terdorong untuk melawan hawa nafsunya. Penyerahan diri kepada Tuhan yaitu adanya pengingkaran terhadap setiap inisiatif dan kemauan diri. Sedangkan zikir berarti menyebut (mentioning), mengingat-ingat (remembering). Caranya dengan mengingat Allah secara berulang-ulang. Bagi Hamka (1996, hal. 199), orang kaya adalah orang yang sedikit kemauannya dan seseorang yang banyak keperluan dan kemauannya itulah orang yang miskin. Kekayaan hakiki adalah mencukupkan yang ada, sudi menerima walaupun berlipatganda beratus-ribu milyun, sebab dia nikmat Tuhan. Dan tidak pula kecewa jika jumlahnya berkurang, sebab dia datang dari sana dan akan kembali ke sana. Jika kekayaan melimpah kepada diri, walau bagaimana banyaknya, kita teringat bahwa gunanya ialah untuk menyokong amal dan ibadat, iman, dan untuk membina keteguhan hati menyembah Tuhan. Harta tidak dicintai karena dia harta. Harta hanya dicintai sebab dia pemberian Tuhan. Dipergunakan kepada yang berfaedah.
Ketika berbicara tentang penghayatan dan pengamalan nilai-nilai spiritualitas Islam yang bersifat pribadi dan subyektif, Hamka berpendapat bahwa nilai-nilai tersebut haruslah dimanifestasikan dalam kehidupan sosial. Nilai-nilai spiritualitas tersebut antara lain: takwa, tawakkal yang bukan fatalistik tetapi takwa berupa sikap aktif dan melakukan ikhtiar semaksimal dan seoptimal mungkin; ikhlas; harapan (raja’); takut (Khauf); taubat; ridha; zuhud; wara’;qanaah; syukur; sabar; istiqamah. Qanaah bagi Hamka berarti menerima dengan cukup. Qanaah mengandung lima perkara yaitu: (a) menerima dengan rela akan apa yang ada. (b) memohonkan kepada Tuhan Tambahan yang pantas, dan berusaha. (c) menerima dengan sabar akan ketentuan Tuhan. (d) bertawakal kepada Tuhan. (e) tidak tertarik oleh tipu daya dunia. Hal ini yang disebut dengan qanaah, dan inilah kekayaan yang sebenarnya. Hal ini berasal dari sabda Rasulullah: “ Bukanlah kekayaan itu lantaran banyak harta, kekayaan ialah kekayaan jiwa.” Hal ini berarti diri yang kenyang dengan apa yang ada, tidak terlalu loba dan cemburu, bukan orang yang meminta lebih terus-terusan. Kalau masih meminta tambah, tandanya masih miskin.
Menurut rincian Reynold A Nicholson, terdapat beberapa jalan tasawuf di antaranya: kefakiran (poverty), penahanan diri (mortification), penyerahan diri kepada Tuhan (trust in good) dan dzikir (recollection). Penahanan diri berarti memisahkan nafsu dari hal-hal yang telah di lakukannya, dengan demikian seseorang terdorong untuk melawan hawa nafsunya. Penyerahan diri kepada Tuhan yaitu adanya pengingkaran terhadap setiap inisiatif dan kemauan diri. Sedangkan zikir berarti menyebut (mentioning), mengingat-ingat (remembering). Caranya dengan mengingat Allah secara berulang-ulang. Bagi Hamka (1996, hal. 199), orang kaya adalah orang yang sedikit kemauannya dan seseorang yang banyak keperluan dan kemauannya itulah orang yang miskin. Kekayaan hakiki adalah mencukupkan yang ada, sudi menerima walaupun berlipatganda beratus-ribu milyun, sebab dia nikmat Tuhan. Dan tidak pula kecewa jika jumlahnya berkurang, sebab dia datang dari sana dan akan kembali ke sana. Jika kekayaan melimpah kepada diri, walau bagaimana banyaknya, kita teringat bahwa gunanya ialah untuk menyokong amal dan ibadat, iman, dan untuk membina keteguhan hati menyembah Tuhan. Harta tidak dicintai karena dia harta. Harta hanya dicintai sebab dia pemberian Tuhan. Dipergunakan kepada yang berfaedah.
Ketika berbicara tentang penghayatan dan pengamalan nilai-nilai spiritualitas Islam yang bersifat pribadi dan subyektif, Hamka berpendapat bahwa nilai-nilai tersebut haruslah dimanifestasikan dalam kehidupan sosial. Nilai-nilai spiritualitas tersebut antara lain: takwa, tawakkal yang bukan fatalistik tetapi takwa berupa sikap aktif dan melakukan ikhtiar semaksimal dan seoptimal mungkin; ikhlas; harapan (raja’); takut (Khauf); taubat; ridha; zuhud; wara’;qanaah; syukur; sabar; istiqamah. Qanaah bagi Hamka berarti menerima dengan cukup. Qanaah mengandung lima perkara yaitu: (a) menerima dengan rela akan apa yang ada. (b) memohonkan kepada Tuhan Tambahan yang pantas, dan berusaha. (c) menerima dengan sabar akan ketentuan Tuhan. (d) bertawakal kepada Tuhan. (e) tidak tertarik oleh tipu daya dunia. Hal ini yang disebut dengan qanaah, dan inilah kekayaan yang sebenarnya. Hal ini berasal dari sabda Rasulullah: “ Bukanlah kekayaan itu lantaran banyak harta, kekayaan ialah kekayaan jiwa.” Hal ini berarti diri yang kenyang dengan apa yang ada, tidak terlalu loba dan cemburu, bukan orang yang meminta lebih terus-terusan. Kalau masih meminta tambah, tandanya masih miskin.
Bagi Hamka, ikhlas artinya bersih, tidak ada campuran, ibarat emas murni, tidak ada bercampur perak berapa persen pun. Pekerjaan yang bersih terhadap sesuatu, bernama ikhlas. Misalnya seorang bekerja karena diupah, semata-mata karena mengharapkan pujian dari sang majikan maka ikhlas amalnya kepada majikannya. Lawan ikhlas adalah Isyrak artinya berserikat atau bercampur dengan yang lain. Antara ikhlas dan isyrak tidak dapat dipertemukan. Kalau ikhlas telah bersarang dalam hati, isyrak tak kuasa masuk ke dalam hati, demikian juga sebaliknya. Jika isyrak telah bersarang di dalam hati maka, ikhlas akan sulit masuknya.
***
***
Tidak ada komentar untuk "Pemikiran Tasawuf Modern Hamka"
Posting Komentar