Mengenal Pocut Meurah Intan, Pahlawan Wanita Aceh dari Padang Tiji
Pocut Meurah Intan
Di Desa Tegal Sari, Blora, di bawah kesejukan pepohonan yang rimbun merindang, berbaringlah jasad seorang pahlawan wanita, Pocut Meurah Intan, yang ditawan Belanda dalam perang kolonial di Aceh.
Bersama puteranya Tuanku Nurdin dan pembantunya Pang Mahmud, Pocut Meurah Intan yang tubuhnya telah dikoyak-koyak oleh peluru musuh, bersemedi di Tegal Sari, jauh dari bumi kelahirannya, sejak tanggal 28 September 1937 sebagaimana tertulis pada batu nisannya (menurut surat Gubernur Jawa Tengah kepada Gubernur Jenderal di Bogor, bahwa beliau meninggal pada tanggal 19 September 1937).
Makam Pocut Meurah Intan
Pocut Meurah Intan adalah puteri seorang bangsawan yang turut berjuang melawan tentera kolonial Belanda. Suaminya seorang turunan Sultan Aceh, bernama Tuanku Abdul Majid bin Tuanku Abbas bin Sultan Alaidin Jauhar Syah Alam yang memerintah Aceh selama 28 tahun.
Dari suaminya Pocut Meurah Intan mendapat putrera tiga orang, semuanya menjadi pahlawan perang Aceh, yaitu Tuanku Budiman, Tuanku Muhammad dan Tuanku Nurdin. Pocut Meurah Intan adalah "ibu tiri" dari permaisuri Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah, Sultan terakhir dari kerajaan Aceh, yang setelah ditawan Belanda pada tahun 1903, lalu dibuang ke Ambon dar kemudian dipindahkan ke Batavia, dan meninggal disana.
Tentang bagaimana keperkasaan dan semangat juang mempertahankan tanah air yang menggelora dalam tubuh pahlawan wanita Pocut Meurah Intan, dengan panjang lebar telah ditulis oleh seorang wartawan dan pengarang Belanda terkenal, H.C. Zentgraaff, dalam bukunya ATJEH. Berikut adalah beberapa kutipan dari buku tersebut.
Veltman yang terkenal dengan sebutan Tuan Pedoman, seorang perwira yang baik had, pernah mengenai seorang wanita Aceh turunan bangsawan, namanya Pocut Meurah Intan. Wanita itu disangka menyembunyikan sebilah keiewang di dalam lipatan kainnya.
Tiba-tiba ia mencabut rencongnya dan dengan meneriakkan : "Kalau begitu biarlah kau mati syahid' iapun menyerbu brigade. Anggota-anggota pasukan nampaknya kurang bemafsu untuk bertempur dengan seorang wanita yang berlaku sebagai singa betina, yang menikam kekiri dan kekanan, dan sebentar kemudian wanita itupun jatuh terbaring di tanah "
"Ia mengalami luka-luka parah; ia memperoleh dua buah tatakan di kepalanya dan dua buah di bahunya, sedang salah satu urat ketingnya putus. Ia terbaring di tanah, penuh dengan darah dan lumpurlaksanasetumpuk daging yang dicencang-cencang. Seorang sersan yangmelihatnya, dengan perasaan penuh belas kasihan berkata kepada komandannya : Bolehkah saya melepaskan tembakan pelepas nyawanya?, yang dibentak Veltman dengan: Apa kau sudah gila? Lalu pasukan meneruskan perjalanannya. Mereka menginginkan agar wanita itu meninggal di tangan bangsanya sendiri".
Beberapa hari telah berlalu, ketika Veltman berjalan-jalan di kedai Biheu (dekat Padangtiji) disana ia mendengar bahwa Pocut Meurah Intan bukan saja masih hidup, tetapi bahkan ia mempunyai rencana hendak membunuh penduduk kampung yang telah menyerah kepada Belanda.
Untuk mengetahui hal itu yang sebenarnya, Veltman memerintahkan untuk menggeledah rumah-rumah di kampung. Setelah dicari dalam setiap rumah dalam arti kata yang sebenarnya, ditemuilah wanita itu tubuhnya dibalut dengan bermacam-macam kain dan kelihatannya menyedihkan sekali. Pada luka-lukanya itu disapukan setumpuk kotoran sapi. Keadaannya lemah sebab banyak kehilangan darah dan tubuhnya menggigil; ia mengerang karena kesakitan.
Walaupun begitu ia tetap menolak bantuan dokter, lebih baik mati daripada tubuhnya dijamah seorang "khapee". Veltman yang sangatpasih berbahasa Aceh, lama berbicara dengan wanita itu dengan caran cara amat hormat, sesuai dengan kedudukannya. Akhirnya ia menerima juga bantuan serdadu itu yang ditolaknya dari seorang dokter. Orang-orang Aceh sangat sportif; serdadu-serdadu dari semua negara dan keturunan dapat sama-sama harga-menghargai, wanita itu membiarkan dirinya dirawat oleh Veltman, dia membersihkan luka-lukanya yang berulat, kemudian membalutnya baik-baik.
Demikianlah sekilas gambaran dari perjuangan dan keberanian pahlawan Pocut Meurah Intan.
***
Referensi:
Ali Hasjmy. 1993. Wanita Aceh Dalam Pemerintahan dan Peperangan. Banda Aceh - Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy
Di Desa Tegal Sari, Blora, di bawah kesejukan pepohonan yang rimbun merindang, berbaringlah jasad seorang pahlawan wanita, Pocut Meurah Intan, yang ditawan Belanda dalam perang kolonial di Aceh.
Bersama puteranya Tuanku Nurdin dan pembantunya Pang Mahmud, Pocut Meurah Intan yang tubuhnya telah dikoyak-koyak oleh peluru musuh, bersemedi di Tegal Sari, jauh dari bumi kelahirannya, sejak tanggal 28 September 1937 sebagaimana tertulis pada batu nisannya (menurut surat Gubernur Jawa Tengah kepada Gubernur Jenderal di Bogor, bahwa beliau meninggal pada tanggal 19 September 1937).
Makam Pocut Meurah Intan
Pocut Meurah Intan adalah puteri seorang bangsawan yang turut berjuang melawan tentera kolonial Belanda. Suaminya seorang turunan Sultan Aceh, bernama Tuanku Abdul Majid bin Tuanku Abbas bin Sultan Alaidin Jauhar Syah Alam yang memerintah Aceh selama 28 tahun.
Dari suaminya Pocut Meurah Intan mendapat putrera tiga orang, semuanya menjadi pahlawan perang Aceh, yaitu Tuanku Budiman, Tuanku Muhammad dan Tuanku Nurdin. Pocut Meurah Intan adalah "ibu tiri" dari permaisuri Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah, Sultan terakhir dari kerajaan Aceh, yang setelah ditawan Belanda pada tahun 1903, lalu dibuang ke Ambon dar kemudian dipindahkan ke Batavia, dan meninggal disana.
Tentang bagaimana keperkasaan dan semangat juang mempertahankan tanah air yang menggelora dalam tubuh pahlawan wanita Pocut Meurah Intan, dengan panjang lebar telah ditulis oleh seorang wartawan dan pengarang Belanda terkenal, H.C. Zentgraaff, dalam bukunya ATJEH. Berikut adalah beberapa kutipan dari buku tersebut.
Veltman yang terkenal dengan sebutan Tuan Pedoman, seorang perwira yang baik had, pernah mengenai seorang wanita Aceh turunan bangsawan, namanya Pocut Meurah Intan. Wanita itu disangka menyembunyikan sebilah keiewang di dalam lipatan kainnya.
Tiba-tiba ia mencabut rencongnya dan dengan meneriakkan : "Kalau begitu biarlah kau mati syahid' iapun menyerbu brigade. Anggota-anggota pasukan nampaknya kurang bemafsu untuk bertempur dengan seorang wanita yang berlaku sebagai singa betina, yang menikam kekiri dan kekanan, dan sebentar kemudian wanita itupun jatuh terbaring di tanah "
"Ia mengalami luka-luka parah; ia memperoleh dua buah tatakan di kepalanya dan dua buah di bahunya, sedang salah satu urat ketingnya putus. Ia terbaring di tanah, penuh dengan darah dan lumpurlaksanasetumpuk daging yang dicencang-cencang. Seorang sersan yangmelihatnya, dengan perasaan penuh belas kasihan berkata kepada komandannya : Bolehkah saya melepaskan tembakan pelepas nyawanya?, yang dibentak Veltman dengan: Apa kau sudah gila? Lalu pasukan meneruskan perjalanannya. Mereka menginginkan agar wanita itu meninggal di tangan bangsanya sendiri".
Beberapa hari telah berlalu, ketika Veltman berjalan-jalan di kedai Biheu (dekat Padangtiji) disana ia mendengar bahwa Pocut Meurah Intan bukan saja masih hidup, tetapi bahkan ia mempunyai rencana hendak membunuh penduduk kampung yang telah menyerah kepada Belanda.
Untuk mengetahui hal itu yang sebenarnya, Veltman memerintahkan untuk menggeledah rumah-rumah di kampung. Setelah dicari dalam setiap rumah dalam arti kata yang sebenarnya, ditemuilah wanita itu tubuhnya dibalut dengan bermacam-macam kain dan kelihatannya menyedihkan sekali. Pada luka-lukanya itu disapukan setumpuk kotoran sapi. Keadaannya lemah sebab banyak kehilangan darah dan tubuhnya menggigil; ia mengerang karena kesakitan.
Walaupun begitu ia tetap menolak bantuan dokter, lebih baik mati daripada tubuhnya dijamah seorang "khapee". Veltman yang sangatpasih berbahasa Aceh, lama berbicara dengan wanita itu dengan caran cara amat hormat, sesuai dengan kedudukannya. Akhirnya ia menerima juga bantuan serdadu itu yang ditolaknya dari seorang dokter. Orang-orang Aceh sangat sportif; serdadu-serdadu dari semua negara dan keturunan dapat sama-sama harga-menghargai, wanita itu membiarkan dirinya dirawat oleh Veltman, dia membersihkan luka-lukanya yang berulat, kemudian membalutnya baik-baik.
Demikianlah sekilas gambaran dari perjuangan dan keberanian pahlawan Pocut Meurah Intan.
***
Referensi:
Ali Hasjmy. 1993. Wanita Aceh Dalam Pemerintahan dan Peperangan. Banda Aceh - Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy
Tidak ada komentar untuk "Mengenal Pocut Meurah Intan, Pahlawan Wanita Aceh dari Padang Tiji"
Posting Komentar