Sejarah Asal Mula Munculnya Gerakan Aceh Merdeka
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) adalah sebuah organisasi separatis yang memiliki tujuan supaya Aceh lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik antara pemerintah RI dan GAM yang diakibatkan perbedaan keinginan ini telah berlangsung sejak tahun 1976 dan menyebabkan jatuhnya hampir sekitar 15.000 jiwa. Gerakan ini juga dikenal dengan nama Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNLF).
Mantan Panglima GAM, Tgk Abdullah Syafi'ie
GAM dipimpin oleh Hasan di Tiro selama hampir tiga dekade bermukim di Swedia dan berkewarganegaraan Swedia. Pada tanggal 2 Juni 2010, ia memperoleh status kewarganegaraan Indonesia, tepat sehari sebelum ia meninggal dunia di Banda Aceh
Tentang konflik Aceh dengan pemerintah pusat sudah menjadi sejarah yang tak bisa terlupakan. Ratusan, bahkan jutaan anak-anak dan masyarakat Aceh hidup dalam konflik di Aceh. Penguasa-penguasa Indonesia yang tidak mengerti jiwa bangsa Aceh telah berlaku zalim. Status Aceh sebagai provinsi dicabut dan Aceh menjadi keresidenan di dalam Provinsi Sumatra Utara, melalui Peraturan Pemerintahan Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 5 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Sumatera Utara, yang ditandatangani oleh Pemangku Jabatan Presiden RI Mr. Assaat dan Menteri Dalam Negeri Mr. Soesanto Tritoprodjo (RI Yogyakarta). Hal ini menyebabkan Aceh terabaikan, sementara kesabaran pemimpi rakyat Aceh telah mencapai ambang batas. Ketidak sabaran akibat kekecewaan inilah yang telah melahirkan gejolak perlawanan bersenjata pada tahun 1953.
Aceh hidup dalam wadah negara Republik Indonesia. Di masa revolusi fisik, Aceh adalah wilayah satu-satunya wilayah Indonesia merdeka yang tidak dapat dikuasai kembali oleh Belanda. Rakyat Aceh juga memberi bantuan finansial yang amat berarti bagi perjuangan menegakkan Indonesia merdeka, seperti menyumbang sebuah pesawat terbang Dakota, sehingga pada tahun 1948 presiden Soekarno menyebut Aceh sebagai “Daerah Modal” bagi Indonesia.
Ketika Yogyakarta diduduki dan Dwitunggal Soekarno-Hatta ditawan oleh Belanda, Aceh menjadi basis utama perjuangan pemerintahan darurat Republik Indonesia (PDRI). Dimasa Republik Indonesia Serikat (RIS), sidang staf gabungan militer Aceh, langkat dan tanah Karo pada tanggal 20 Maret 1949, yang dipimpin oleh Tgk Muhammad Daud Bereuh, sepakat menolak ajakan Tgk Mansur untuk bergabung dengan Negara Federal Sumatra, menolak memproklamasikan Aceh sebagai Negara sendiri, dan memilih tetap menjadi bagian dari Republik Indonesia.
Sayangnya, penguasa-penguasa bangsa Indonesia tidak mengerti jiwa bangsa Aceh. Status Aceh sebagai provinsi dicabut dan Aceh menjadi keresidenan di dalam provinsi Sumatra Utara, melalui peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang No 5 tahun 1950 tentang pembentukan Provinsi Sumatra Utara. Inilah bibit pertama ketidak percayaan Rakyat Aceh kepada Pemerintah Pusat di Jakarta. Kekecewaan inilah yang telah melahirkan perlawanan bersenjata pada tahun 1953, yaitu pemberontakan yang dilakukan oleh pimpinan Tgk Daud Beureu-eh yang biasa disebut pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Perjuangan tidak langsung surut dengan adanya pemberontakan DI/TII di Aceh. Pada tahun 1974 kembali tanah rencong menelan rasa kecewa kepada Pemerintahan Pusat. Dikarenakan disahkannya UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, menggantikan UU Nomor 18 Tahun 1965, hak keistimewaan Aceh pun gugur. Rasa kecewa ini selanjutnya diperparah dengan ketidakadilan, teror dan siksaan fisik serta psikis oleh rezim Orde Baru. Kekecewaan Aceh lainnya terhadap pemerintah pusat menuntut dalam hal pembagian hasil sumber daya alam yang tidak adil¬¬ untuk Aceh khususnya, dan umumnya terhadap program pembangunan Orde Baru yang menempatkan penduduk lokal sebagai penonton.
Pada tahun 1969 di Arun, Lhokseumaweh, Aceh Utara ditemukan ladang gas, yang depositnya diperkirakan dapat dieksplorasi selama lebih dari 30 tahun. Pada tahun 1971 rezim Orde Baru memberi hak pengelolaan ladang gas Arun secara join venture antara Pertamina, Mobil Oil Indonesia dan Jilco Jepang. Kilang gas dengan label PT Arun NGL beroperasi mulai tahun 1977, dengan nilai produksi rata-rata pertahun US$ 31 miliar. Selain itu, dari zona Industri Lhokseumawe ini, masi ada PT Pupuk Iskandar Muda, PT Aceh Asean Fertilizer dan PT Kraft Aceh, jelas menyumbang dana dalam jumlah miliaran rupiah ke Jakarta. Belum lagi hasil produksi hutan Aceh yang melimpah, yang pada tahun 1997 mencapai lebih dari Rp 1 triliun per tahun. Hanya, kekayaan itu tidak memberi manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat sekitar. Kucuran Jakarta untuk pembangunan Aceh juga begitu kecil. Dalam APBD tahun 1997/1998 Aceh hanya menerima begian sekitar Rp 150 miliar.
Pada tahun 1974 muncul usaha untuk memperoleh perimbangan keuangan yang lebih memadai bagi pembangunan Aceh, khususnya dari hasil minyak dan gas bumi. Namun, usaha ini kembali tidak mencapai hasil. Lebih dari itu, rezim orde baru Seoharto yang militeristik dan otoritarian, yang tidak mngenal demokrasi kecuali dalam tafsiran yang integralistik, juga menodai kehormatan Aceh.
Pada tanggal 4 Desember 1976 muncullah gerakan ideo-nasionalisme Aceh Merdeka, atau Atjeh-Sumatera National Liberation Front, yang menuntut pemisahan diri dari Republik Indonesia, dipimpin oleh Tgk Dr. Hasan Muhammad di Tiro. Cita-cita gerekan ini adalah mendirikan Negara/Kerajaan Aceh Sumatera. Arus utama ideologi yang dipakai merujuk pada perspektif historis bahwa Aceh tidak pernah di jajah oleh Belanda atau sultan Aceh tidak pernah menyerahkan kedaulatan Aceh dari Belanda kepada Republik Indonesia. Karena itu, penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia, seharusnya tidak termasuk wilayah Aceh. Belanda mengalihkan otoritas Aceh kepada Indonesia, sementara Belanda tidak pernah memiliki Aceh. Ini adalah alasan utama dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM) diperjuangkannya adalah “succesor state” , meneruskan negara yang pernah dibangun oleh para endatu (nenek moyang).
Selain itu, menurut beberapa sumber lain, disebutkan lahirnya GAM merupakan buntut panjang dari kekecewaan masyarakat Aceh terhadap perlakuan pemerintah Pusat di Jakarta. Dimna Aceh yang dulunya sangat setia kepada perjuangan kemerdekaan Nusantara dari penjajahan bangsa kolonial, mendapat perlakuan yang tidak sebagaimana mestinya dari pemerintah Pusat.
Sebagai tanda bukti, tentu pembaca masih ingat, pada masa perjuangan kemerdekaan di Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureueh memobilisasi dana rakyat pada tahun 1948 dan setahun kemudian berhasil mengumpulkan dana rakyat 500.000 dolar AS. Uang itu disumbangkan utuh buat bangsa Indonesia. Uang itu diberikan ABRI 250 ribu dolar, 50 ribu dolar untuk perkantoran pemerintahan negara RI, 100 ribu dolar untuk pengembalian pemerintahan RI dari Yogyakarta ke Jakarta, dan 100 ribu dolar diberikan kepada pemerintah pusat melalui AA Maramis. Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk membeli obligasi pemerintah, membiayai berdirinya perwakilan RI di India, Singapura dan pembelian dua pesawat terbang untuk keperluan para pemimpin RI. Saat itu Soekarno menyebut Aceh adalah modal utama kemerdekaan RI.
Setahun berlangsung, kekecewaan tumbuh. Propinsi Aceh dilebur ke Propinsi Sumatera Utara. Rakyat Aceh marah. Apalagi, janji Soekarno pada 16 Juni 1948 bahwa Aceh akan diberi hak mengurus rumah tangganya sendiri sesuai syariat Islam tak juga dipenuhi. Intinya, Daud Beureueh ingin pengakuan hak menjalankan agama di Aceh. Bukan dilarang. Beureueh tak minta merdeka, cuma minta kebebasan menjalankan agamanya sesuai syariat Islam. Daud Beureueh pun menggulirkan ide pembentukan Negara Islam Indonesia pada April 1953. Ide ini di Jawa Barat telah diusung Kartosuwiryo pada 1949 melalui Darul Islam.
Lima bulan kemudian, Beureueh menyatakan bergabung dan mengakui NII Kartosuwiryo. Dari sinilah lantas Beureueh melakukan gerilya. Rakyat Aceh, yang notabene Islam, mendukung sepenuhnya ide NII itu. Tentara NII pun dibentuk, bernama Tentara Islam Indonesia (TII). Lantas, terkenallah pemberontakan DI/TII di sejumlah daerah. Beureueh lari ke hutan. Cuma, ada tragedi di sini. Pada 1955 telah terjadi pembunuhan masal oleh TNI. Sekitar 64 warga Aceh tak berdosa dibariskan di lapangan lalu ditembaki. Aksi ini mengecewakan tokoh Aceh yang pro-Soekarno. Melalui berbagai gejolak dan perundingan, pada 1959, Aceh memperoleh status propinsi daerah istimewa.
Beureueh merasa dikhianati Soekarno. Bung Karno tidak mengindahkan struktur kepemimpinan adat dan tak menghargai peranan ulama dalam kehidupan bernegara. Padahal, rakyat Aceh itu sangat besar kepercayaannya kepada ulama. Gerilya dilakukan. Tetapi, Bung Karno mengerahkan tentaranya ke Aceh. Tahun 1962, Beureueh dibujuk menantunya El Ibrahimy agar menuruti Menhankam AH Nasution untuk menyerah. Beureueh menurut karena ada janji akan dibuatkan UU Syariat Islam bagi rakyat Aceh (baru terwujud tahun 2001).
Dengan demikian, bisa disimpulkan, munculnya gerakan Aceh merdeka (GAM) karena buntut kekecewaan yang secara dasariah berangkat dari ketimpangan dan "standard hidup" yang tidak sesuai pasca kemerdekaan Indonesia.
**
Sumber:
Otto Syamsuddin Ishak, dkk, Hasan Tiro: Unfinished Story of Aceh, Bandar Publishing-Banda Aceh, 201
Hamid, Farhan, Ahamd. 2006, Jalan Damai Nanggroe Endatu. Jakarta: Suara Bebas.
Widiadi, Adityavatara. 2008. Gerakan Aceh Merdeka (1976-2005): Kebangkitan Nasionalisme dalam Kepudaran Nasionalisme. (Online). (Diakses, 2016).
Ikhwanesia.com
Wikipedia
Mantan Panglima GAM, Tgk Abdullah Syafi'ie
GAM dipimpin oleh Hasan di Tiro selama hampir tiga dekade bermukim di Swedia dan berkewarganegaraan Swedia. Pada tanggal 2 Juni 2010, ia memperoleh status kewarganegaraan Indonesia, tepat sehari sebelum ia meninggal dunia di Banda Aceh
Tentang konflik Aceh dengan pemerintah pusat sudah menjadi sejarah yang tak bisa terlupakan. Ratusan, bahkan jutaan anak-anak dan masyarakat Aceh hidup dalam konflik di Aceh. Penguasa-penguasa Indonesia yang tidak mengerti jiwa bangsa Aceh telah berlaku zalim. Status Aceh sebagai provinsi dicabut dan Aceh menjadi keresidenan di dalam Provinsi Sumatra Utara, melalui Peraturan Pemerintahan Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 5 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Sumatera Utara, yang ditandatangani oleh Pemangku Jabatan Presiden RI Mr. Assaat dan Menteri Dalam Negeri Mr. Soesanto Tritoprodjo (RI Yogyakarta). Hal ini menyebabkan Aceh terabaikan, sementara kesabaran pemimpi rakyat Aceh telah mencapai ambang batas. Ketidak sabaran akibat kekecewaan inilah yang telah melahirkan gejolak perlawanan bersenjata pada tahun 1953.
Aceh hidup dalam wadah negara Republik Indonesia. Di masa revolusi fisik, Aceh adalah wilayah satu-satunya wilayah Indonesia merdeka yang tidak dapat dikuasai kembali oleh Belanda. Rakyat Aceh juga memberi bantuan finansial yang amat berarti bagi perjuangan menegakkan Indonesia merdeka, seperti menyumbang sebuah pesawat terbang Dakota, sehingga pada tahun 1948 presiden Soekarno menyebut Aceh sebagai “Daerah Modal” bagi Indonesia.
Ketika Yogyakarta diduduki dan Dwitunggal Soekarno-Hatta ditawan oleh Belanda, Aceh menjadi basis utama perjuangan pemerintahan darurat Republik Indonesia (PDRI). Dimasa Republik Indonesia Serikat (RIS), sidang staf gabungan militer Aceh, langkat dan tanah Karo pada tanggal 20 Maret 1949, yang dipimpin oleh Tgk Muhammad Daud Bereuh, sepakat menolak ajakan Tgk Mansur untuk bergabung dengan Negara Federal Sumatra, menolak memproklamasikan Aceh sebagai Negara sendiri, dan memilih tetap menjadi bagian dari Republik Indonesia.
Sayangnya, penguasa-penguasa bangsa Indonesia tidak mengerti jiwa bangsa Aceh. Status Aceh sebagai provinsi dicabut dan Aceh menjadi keresidenan di dalam provinsi Sumatra Utara, melalui peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang No 5 tahun 1950 tentang pembentukan Provinsi Sumatra Utara. Inilah bibit pertama ketidak percayaan Rakyat Aceh kepada Pemerintah Pusat di Jakarta. Kekecewaan inilah yang telah melahirkan perlawanan bersenjata pada tahun 1953, yaitu pemberontakan yang dilakukan oleh pimpinan Tgk Daud Beureu-eh yang biasa disebut pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Perjuangan tidak langsung surut dengan adanya pemberontakan DI/TII di Aceh. Pada tahun 1974 kembali tanah rencong menelan rasa kecewa kepada Pemerintahan Pusat. Dikarenakan disahkannya UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, menggantikan UU Nomor 18 Tahun 1965, hak keistimewaan Aceh pun gugur. Rasa kecewa ini selanjutnya diperparah dengan ketidakadilan, teror dan siksaan fisik serta psikis oleh rezim Orde Baru. Kekecewaan Aceh lainnya terhadap pemerintah pusat menuntut dalam hal pembagian hasil sumber daya alam yang tidak adil¬¬ untuk Aceh khususnya, dan umumnya terhadap program pembangunan Orde Baru yang menempatkan penduduk lokal sebagai penonton.
Pada tahun 1969 di Arun, Lhokseumaweh, Aceh Utara ditemukan ladang gas, yang depositnya diperkirakan dapat dieksplorasi selama lebih dari 30 tahun. Pada tahun 1971 rezim Orde Baru memberi hak pengelolaan ladang gas Arun secara join venture antara Pertamina, Mobil Oil Indonesia dan Jilco Jepang. Kilang gas dengan label PT Arun NGL beroperasi mulai tahun 1977, dengan nilai produksi rata-rata pertahun US$ 31 miliar. Selain itu, dari zona Industri Lhokseumawe ini, masi ada PT Pupuk Iskandar Muda, PT Aceh Asean Fertilizer dan PT Kraft Aceh, jelas menyumbang dana dalam jumlah miliaran rupiah ke Jakarta. Belum lagi hasil produksi hutan Aceh yang melimpah, yang pada tahun 1997 mencapai lebih dari Rp 1 triliun per tahun. Hanya, kekayaan itu tidak memberi manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat sekitar. Kucuran Jakarta untuk pembangunan Aceh juga begitu kecil. Dalam APBD tahun 1997/1998 Aceh hanya menerima begian sekitar Rp 150 miliar.
Pada tahun 1974 muncul usaha untuk memperoleh perimbangan keuangan yang lebih memadai bagi pembangunan Aceh, khususnya dari hasil minyak dan gas bumi. Namun, usaha ini kembali tidak mencapai hasil. Lebih dari itu, rezim orde baru Seoharto yang militeristik dan otoritarian, yang tidak mngenal demokrasi kecuali dalam tafsiran yang integralistik, juga menodai kehormatan Aceh.
Pada tanggal 4 Desember 1976 muncullah gerakan ideo-nasionalisme Aceh Merdeka, atau Atjeh-Sumatera National Liberation Front, yang menuntut pemisahan diri dari Republik Indonesia, dipimpin oleh Tgk Dr. Hasan Muhammad di Tiro. Cita-cita gerekan ini adalah mendirikan Negara/Kerajaan Aceh Sumatera. Arus utama ideologi yang dipakai merujuk pada perspektif historis bahwa Aceh tidak pernah di jajah oleh Belanda atau sultan Aceh tidak pernah menyerahkan kedaulatan Aceh dari Belanda kepada Republik Indonesia. Karena itu, penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia, seharusnya tidak termasuk wilayah Aceh. Belanda mengalihkan otoritas Aceh kepada Indonesia, sementara Belanda tidak pernah memiliki Aceh. Ini adalah alasan utama dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM) diperjuangkannya adalah “succesor state” , meneruskan negara yang pernah dibangun oleh para endatu (nenek moyang).
Selain itu, menurut beberapa sumber lain, disebutkan lahirnya GAM merupakan buntut panjang dari kekecewaan masyarakat Aceh terhadap perlakuan pemerintah Pusat di Jakarta. Dimna Aceh yang dulunya sangat setia kepada perjuangan kemerdekaan Nusantara dari penjajahan bangsa kolonial, mendapat perlakuan yang tidak sebagaimana mestinya dari pemerintah Pusat.
Sebagai tanda bukti, tentu pembaca masih ingat, pada masa perjuangan kemerdekaan di Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureueh memobilisasi dana rakyat pada tahun 1948 dan setahun kemudian berhasil mengumpulkan dana rakyat 500.000 dolar AS. Uang itu disumbangkan utuh buat bangsa Indonesia. Uang itu diberikan ABRI 250 ribu dolar, 50 ribu dolar untuk perkantoran pemerintahan negara RI, 100 ribu dolar untuk pengembalian pemerintahan RI dari Yogyakarta ke Jakarta, dan 100 ribu dolar diberikan kepada pemerintah pusat melalui AA Maramis. Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk membeli obligasi pemerintah, membiayai berdirinya perwakilan RI di India, Singapura dan pembelian dua pesawat terbang untuk keperluan para pemimpin RI. Saat itu Soekarno menyebut Aceh adalah modal utama kemerdekaan RI.
Setahun berlangsung, kekecewaan tumbuh. Propinsi Aceh dilebur ke Propinsi Sumatera Utara. Rakyat Aceh marah. Apalagi, janji Soekarno pada 16 Juni 1948 bahwa Aceh akan diberi hak mengurus rumah tangganya sendiri sesuai syariat Islam tak juga dipenuhi. Intinya, Daud Beureueh ingin pengakuan hak menjalankan agama di Aceh. Bukan dilarang. Beureueh tak minta merdeka, cuma minta kebebasan menjalankan agamanya sesuai syariat Islam. Daud Beureueh pun menggulirkan ide pembentukan Negara Islam Indonesia pada April 1953. Ide ini di Jawa Barat telah diusung Kartosuwiryo pada 1949 melalui Darul Islam.
Lima bulan kemudian, Beureueh menyatakan bergabung dan mengakui NII Kartosuwiryo. Dari sinilah lantas Beureueh melakukan gerilya. Rakyat Aceh, yang notabene Islam, mendukung sepenuhnya ide NII itu. Tentara NII pun dibentuk, bernama Tentara Islam Indonesia (TII). Lantas, terkenallah pemberontakan DI/TII di sejumlah daerah. Beureueh lari ke hutan. Cuma, ada tragedi di sini. Pada 1955 telah terjadi pembunuhan masal oleh TNI. Sekitar 64 warga Aceh tak berdosa dibariskan di lapangan lalu ditembaki. Aksi ini mengecewakan tokoh Aceh yang pro-Soekarno. Melalui berbagai gejolak dan perundingan, pada 1959, Aceh memperoleh status propinsi daerah istimewa.
Beureueh merasa dikhianati Soekarno. Bung Karno tidak mengindahkan struktur kepemimpinan adat dan tak menghargai peranan ulama dalam kehidupan bernegara. Padahal, rakyat Aceh itu sangat besar kepercayaannya kepada ulama. Gerilya dilakukan. Tetapi, Bung Karno mengerahkan tentaranya ke Aceh. Tahun 1962, Beureueh dibujuk menantunya El Ibrahimy agar menuruti Menhankam AH Nasution untuk menyerah. Beureueh menurut karena ada janji akan dibuatkan UU Syariat Islam bagi rakyat Aceh (baru terwujud tahun 2001).
Dengan demikian, bisa disimpulkan, munculnya gerakan Aceh merdeka (GAM) karena buntut kekecewaan yang secara dasariah berangkat dari ketimpangan dan "standard hidup" yang tidak sesuai pasca kemerdekaan Indonesia.
**
Sumber:
Otto Syamsuddin Ishak, dkk, Hasan Tiro: Unfinished Story of Aceh, Bandar Publishing-Banda Aceh, 201
Hamid, Farhan, Ahamd. 2006, Jalan Damai Nanggroe Endatu. Jakarta: Suara Bebas.
Widiadi, Adityavatara. 2008. Gerakan Aceh Merdeka (1976-2005): Kebangkitan Nasionalisme dalam Kepudaran Nasionalisme. (Online). (Diakses, 2016).
Ikhwanesia.com
Wikipedia
Tidak ada komentar untuk "Sejarah Asal Mula Munculnya Gerakan Aceh Merdeka"
Posting Komentar