Fungsi Meunasah di Aceh

Meunasah Sebagai Tempat Kegiatan Umum 

Daerah yang terkecil di Aceh disebut Gampong (Kampung). Gampong dikepalai oleh dua orang, ibarat rumah tangga dikepalai oleh ayah dan ibu. Keuchik dalam gampong, ibarat ayah dalam rumah tangga, dan Imum Meunasah mempakan ibu dalam rumah tangga. Sebagai dalam rumah tangga ada pembagian pekerjaan antara ayah dan ibu demikian pula halnya di gampong ada pembagian pekerjaan antara Keuchik dan Imum Meunasah, di samping ada pula hal-hal yang dikerjakan bersama oleh mereka berdua Urusan pemerintahan dikerjakan oleh Keuchik dan urusan keagamaan dikerjakan oleh Imum Meunasah. 

Baca juga:
Ulama Aceh dan Dasar Pengakuannya 

Kalau ada persengketaan antara warga gampong yang bersangkutan maka tugas untuk mendamaikan antara kedua belah pihak yang bersengketa adalah tugas bersama antara Keuchik dan Teungku Imum Meunasah ditambah dengan empat orang lainnya yang disebut Tuha Peuet (empat orang orang orang tua) yang dipilih diantara warga gampong itu yang dipandang mempunyai pengaruh. Teungku Imum dipilih seorang yang mempunyai pengetahuan agama sekedarnya, sehingga ia dapat mengajar membaca Qur'an dan pengetahuan agama praktis lainnya. Oleh karena itu, bolehlah disebut bahwa Teungku Imum itu merupakan ulama kecil yang bertugas ditiap-tiap gampong. 

Salah satu model meunasah di Aceh (pustaka musbir)
 
Merawat Meunasah sehari-hari adalah tugas Teungku Imum, demikian pula perbaikan kecil-kecil.Untuk ini dan sekedar jerih payah Teungku Imum, diusahakan adanya sawah dan/atau kebun wakaf yang dikerjakan oleh Teungku Imum. Hasilnya sebagian untuk Teungku Imum dan sebagian lain untuk rawatan kecil-kecil untuk Meunasah. Kalau rawatan yang memerlukan banyak biaya, maka itu menjadi tanggungan seluruh warga gampong itu. Keuchik tidak mendapat bagian dari harta wakaf itu. Tetapi ia mempunyai sumber lain, yaitu sige pada jual beli, terutama jual beli barang tak bergerak. Lima persen dari harganya menjadi hak Keuchik sebagai saksi utama dalam jual beli itu.

Sebagian dari uang itu juga diberikan kepada saksi-saksi lainnya. Jual beli itu dilangsungkan di Meunasah, terutama mengenai jual beli barang tak bergerak, supaya disaksikan oleh orang banyak. Sebab Meunasah, sebagian yang telah kita singgung sebelumnya mempunyai multi fungsi, bukan saja hal-hal yang bersangkutan dengan masalah sosial, tetapi juga yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi. Umpamanya, Meunasah itu juga dapat dipergunakan sebagai tempat mengerjakan pekerjaan tangan bagi anak-anak muda, seperti menjahit daun rumbia untuk atap, membuat keranjang dan sebagainya.

Dalam hal mendamaikan orang yang bersengketa, yang memimpin pertemuan adalah Keuchik, sedang yang memegang peranan memberi pandangan yang disadurkan dengan ajaran-ajaran Islam, adalah Teungku Imum Meunasah, kemudian ditambah lagi oleh Tuha Peuet. Kadang-kadang Meunasah itu merupakan pengadilan juga. Perkara kecil-kecil semua dapat selesai di sana dahulu. Dalam perkara perkelahian, meskipun namanya damai, namun ada juga pembayaran dendam. Hanya dendanya, bukan untuk kas negara, melainkan untuk fihak yang terkena. Denda itu dinamakan sayam atau diet, diambil dari bahasa Arab diat.

***
Sumber:
Dr. Taufik Abdullah. 1983. Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali

Tidak ada komentar untuk "Fungsi Meunasah di Aceh"