Mengenal Puteri Pahang, Salah Satu Wanita Aceh Dalam Pemerintahan
Puteri Pahang
Tatkala Sultan Iskandarmuda pada tahun 1615 menyerang kembali Johor untuk kedua kalinya dan kemudian memperluas wilayah perlindungannya sampai ke Pahang pada tahun 1617 karena kedua kerajaan itu telah bersekongkol dengan Portugis, maka sejumlah besar rakyat negeri Pahang ditawan dan dibawa ke Aceh, termasuk seorang puteri Raja Pahang bernama Puteri Kamaliah yang kemudian dijadikan permaisuri oleh Sultan Iskandarmuda.
Puteri Pahang itu dalam Istana Darud Dunia tidak hanya sebagai Permaisuri Raja, tetapi juga menjadi penasihat bagi suaminya. Ia sangat bijaksana dan menjadi sangat termashur dengan nama Putrou Phang.
Salah satu dari nasihat Puteri Pahang yang dilaksanakan oleh Sultan Iskandarmuda, dan yang mata bersejarah, ialah pembentukan sebuah lembaga yang disebut Balai Majlis Mahkamah Rakyat (semacam DPR sekarang), yang beranggotakan 73 orang yang mewakili Mukim dalam Kerajaan Aceh Darussalam.
Untuk mengabadikan jasa dan karya besar Puteri Pahang itu, maka semua produk Majlis Mahkamah Rakyat disebut sebagai produk Puteri Pahang, sebagaimana tercermin dalam sebuah Hadih Maja (kata berhikmat) yang berbunyi sebagai berikut:
Adat bak Poteu Meureuhoom
Hukoom bak Syiah Kuala
Kanun bak Putrou Phang
Reusam bak Lakseumana
Hukom ngon adat
Lagee zat ngon sifeut
Hadih Maja tersebut menunjukkan adanya pembagian kekuasaan dalam kerajaan Aceh Darussalam, yaitu :
1. Kekuasaan eksekutif (kekuasaan politik/adat) yang berada di tangan Sultan yang disebut Poteu Meureuhoom, yaitu Iskandarmuda yang menciptakan sistim tersebut. (baris 1)
2. Kekuasaan yudikatif atau pelaksanaan hukum yang berada di tangan ulama. Karena Syekh Abdurrauf Syiah Kuala merupakan seorang ahli hukum dan Kadli Malikul Adil yang amat menonjol, maka pelaksanaan kekuasaan yudikatif itu dibangsakan kepadanya yang bergelar Syiah Kuala, (baris 2)
3. Kekuasaan legislatif (kekuasaan membuat undang-undang). Dan kekuasaan ini berada di tangan Dewan Perwakilan yang dilambangkan oleh Puteri Pahang, karena ialah yang memberi nasihat kepada Iskandarmuda untuk membentuk Balai Majlis Mahkamah Rakyat. (baris
4. Peraturan keprotokolan atau reusam diserahkan pada Laksamana/Panglima Angkatan Perang Ach. (baris 4)
5. Akhirnya dalam Hadih Maja itu dinyatakan bahwa dalam keadaan bagaimanapun, antara adat, kanun dan reusam tidak boleh dipisahkan dari hukoom (ajaran Islam), sebagaimana tercantum dalam baris 5 dan 6.
Hadih Maja itu tetap menjadi filsafat hidup orang Aceh, dan tiga nama tetap menjadi ingatan, yaitu : Iskandarmuda, Syekh Abdurrauf Syiah Kuala dan Puteri Pahang.
Keberadaan Lembaga Balai Majlis Mahkamah Rakyat itu terus berlanjut. Pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin dan Raja Iskandar Sani, sebanyak 17 orang dari 73 orang anggota Balai Majlis Mahkamah Rakyat itu adalah wanita.
***
Referensi:
Ali Hasjmy. 1993. Wanita Aceh Dalam Pemerintahan dan Peperangan. Banda Aceh - Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy
Tatkala Sultan Iskandarmuda pada tahun 1615 menyerang kembali Johor untuk kedua kalinya dan kemudian memperluas wilayah perlindungannya sampai ke Pahang pada tahun 1617 karena kedua kerajaan itu telah bersekongkol dengan Portugis, maka sejumlah besar rakyat negeri Pahang ditawan dan dibawa ke Aceh, termasuk seorang puteri Raja Pahang bernama Puteri Kamaliah yang kemudian dijadikan permaisuri oleh Sultan Iskandarmuda.
Puteri Pahang itu dalam Istana Darud Dunia tidak hanya sebagai Permaisuri Raja, tetapi juga menjadi penasihat bagi suaminya. Ia sangat bijaksana dan menjadi sangat termashur dengan nama Putrou Phang.
Salah satu dari nasihat Puteri Pahang yang dilaksanakan oleh Sultan Iskandarmuda, dan yang mata bersejarah, ialah pembentukan sebuah lembaga yang disebut Balai Majlis Mahkamah Rakyat (semacam DPR sekarang), yang beranggotakan 73 orang yang mewakili Mukim dalam Kerajaan Aceh Darussalam.
Gunongan, persembahan dan bukti cinta Iskandar muda untuk Putri Pahang.
Adat bak Poteu Meureuhoom
Hukoom bak Syiah Kuala
Kanun bak Putrou Phang
Reusam bak Lakseumana
Hukom ngon adat
Lagee zat ngon sifeut
Hadih Maja tersebut menunjukkan adanya pembagian kekuasaan dalam kerajaan Aceh Darussalam, yaitu :
1. Kekuasaan eksekutif (kekuasaan politik/adat) yang berada di tangan Sultan yang disebut Poteu Meureuhoom, yaitu Iskandarmuda yang menciptakan sistim tersebut. (baris 1)
2. Kekuasaan yudikatif atau pelaksanaan hukum yang berada di tangan ulama. Karena Syekh Abdurrauf Syiah Kuala merupakan seorang ahli hukum dan Kadli Malikul Adil yang amat menonjol, maka pelaksanaan kekuasaan yudikatif itu dibangsakan kepadanya yang bergelar Syiah Kuala, (baris 2)
3. Kekuasaan legislatif (kekuasaan membuat undang-undang). Dan kekuasaan ini berada di tangan Dewan Perwakilan yang dilambangkan oleh Puteri Pahang, karena ialah yang memberi nasihat kepada Iskandarmuda untuk membentuk Balai Majlis Mahkamah Rakyat. (baris
4. Peraturan keprotokolan atau reusam diserahkan pada Laksamana/Panglima Angkatan Perang Ach. (baris 4)
5. Akhirnya dalam Hadih Maja itu dinyatakan bahwa dalam keadaan bagaimanapun, antara adat, kanun dan reusam tidak boleh dipisahkan dari hukoom (ajaran Islam), sebagaimana tercantum dalam baris 5 dan 6.
Hadih Maja itu tetap menjadi filsafat hidup orang Aceh, dan tiga nama tetap menjadi ingatan, yaitu : Iskandarmuda, Syekh Abdurrauf Syiah Kuala dan Puteri Pahang.
Keberadaan Lembaga Balai Majlis Mahkamah Rakyat itu terus berlanjut. Pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin dan Raja Iskandar Sani, sebanyak 17 orang dari 73 orang anggota Balai Majlis Mahkamah Rakyat itu adalah wanita.
***
Referensi:
Ali Hasjmy. 1993. Wanita Aceh Dalam Pemerintahan dan Peperangan. Banda Aceh - Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy
Tidak ada komentar untuk "Mengenal Puteri Pahang, Salah Satu Wanita Aceh Dalam Pemerintahan"
Posting Komentar