Sejarah Tentang Suku Anak Dalam
Suku Anak Dalam Batin Sembilan adalah kelompok suku lokal yang salah satunya bermukim di Desa Tanjung Lebar, Kecamatan Sungai Bahar, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Keberadaan SAD Batin Sembilan telah ada sejak sebelum masa kemerdekaan juga sejak Desa Tanjung Lebar masih berstatus sebagai dusun sebelum tahun 1981.
Semenjak diberlakukan Undang-Undang Desa tahun 1979, banyak perubahan yang dihadapi oleh SAD Batin Sembilan seiring dengan perubahan status dusun menjadi desa tersebut. Perubahan tersebut disusul oleh adanya gelombang besar kedatangan masyarakat pendatang akibat adanya kebijakan transmigrasi dan perhutani, perusahaan, maupun penduduk wilayah lain yang datang dengan sendirinya untuk membuka ladang baru.
Baca juga:
Sejarah Tentang Suku Baduy
Suku Anak Dalam atau biasa disebut juga Suku Kubu atau dikenal juga dengan istilah Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Diperkirakan jumlah populasi suku anak dalam sekitar 200.000 orang.
suku anak dalam(satujam.com)
Asal Usul
Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam,Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti sistem matrilineal.
Sumber dari Muchlas (1975) yang menelusuri asal usul Anak Dalam menyatakan bahwa asal usul Anak Dalam berasal dari sejumlah cerita yang dituturkan secara lisan dan berkembang di provinsi Jambi. Beberapa cerita itu adalah Cerita Buah Gelumpang, Tambo Anak Dalam (Minangkabau), Cerita Orang Kayu Hitam, Cerita Seri Sumatera Tengah, Cerita Perang Jambi dengan Belanda, Cerita Tambo Sriwijaya, Cerita Turunan Ulu Besar dan Bayat, Cerita tentang Orang Kubu. Kesimpulan Muchlas dari cerita tersebut adalah Anak Dalam berasal dari tiga keturunan yaitu:
Semenjak diberlakukan Undang-Undang Desa tahun 1979, banyak perubahan yang dihadapi oleh SAD Batin Sembilan seiring dengan perubahan status dusun menjadi desa tersebut. Perubahan tersebut disusul oleh adanya gelombang besar kedatangan masyarakat pendatang akibat adanya kebijakan transmigrasi dan perhutani, perusahaan, maupun penduduk wilayah lain yang datang dengan sendirinya untuk membuka ladang baru.
Baca juga:
Sejarah Tentang Suku Baduy
Suku Anak Dalam atau biasa disebut juga Suku Kubu atau dikenal juga dengan istilah Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Diperkirakan jumlah populasi suku anak dalam sekitar 200.000 orang.
Asal Usul
Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam,Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti sistem matrilineal.
Sumber dari Muchlas (1975) yang menelusuri asal usul Anak Dalam menyatakan bahwa asal usul Anak Dalam berasal dari sejumlah cerita yang dituturkan secara lisan dan berkembang di provinsi Jambi. Beberapa cerita itu adalah Cerita Buah Gelumpang, Tambo Anak Dalam (Minangkabau), Cerita Orang Kayu Hitam, Cerita Seri Sumatera Tengah, Cerita Perang Jambi dengan Belanda, Cerita Tambo Sriwijaya, Cerita Turunan Ulu Besar dan Bayat, Cerita tentang Orang Kubu. Kesimpulan Muchlas dari cerita tersebut adalah Anak Dalam berasal dari tiga keturunan yaitu:
1. Keturunan dari Sumatera Selatan, umumnya tinggal di wilayah Kabupaten Batanghari.
2. Keturunan dari Minangkabau umumnya di Kabupaten Bungo Tebo sebagian Mersan.
3. Keturunan dari Jambi Asli ialah Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko.
Lebih jauh Muchlas mengatakan bahwa asal usul Anak Dalam berasal dari cerita tentang perang Jambi dengan Belanda yang berakhir pada tahun 1904, pihak pasukan Jambi yang dibela oleh Anak-Dalam yang dipimpin oleh Raden Perang. Raden Perang adalah cucu Raden Nagasari. Dalam perang gerilya maka terkenallah Anak-Dalam dengan sebutan Orang Kubu artinya orang yang tak mau menyerah pada penjajah Belanda yang membawa penyakit jauh senjata api. Orang Belanda disebut Orang Kayo Putih sebagai lawan Raja Jambi (Orang Kayo Hitam).
Beberapa sumber lain yang membahas mengenai sejarah asal usul Anak Dalam yaitu disertasi Muntholib Soetomo yang memaparkan mengenai asal usul suku Anak Dalam berawal dari cerita seorang yang gagah berani bernama Bujang Perantau.
Selain itu berdasarkan Dirjen Bina Masyarakat Terasing Depsos RI, 1998 :55-56, secara mitologi, suku Anak Dalam masih menganggap satu keturunan dengan Puyang Lebar Telapak yang berasal dari Desa Cambai, Muara Enim.
Menurut Departemen sosial dalam data dan informasi Depsos RI (1990) menyebutkan asal usul Suku Anak Dalam yaitu: Sejak Tasun 1624, Kesultanan Palembang dan Kerajaan Jambi yang sebenarnya masih satu rumpun memang terus menerus bersitegang dan pertempuran di Air Hitam akhirnya pecah pada tahun 1629. Versi ini menunjukkan mengapa saat ini ada dua kelompok masyarakat Anak Dalam dengan bahasa, bentuk fisik, tempat tinggal dan adat istiadat yang berbeda. Mereka yang menempati belantara Musi Rawas (Sumatera Selatan) berbahasa Melayu, berkulit kuning dengan postur tubuh ras Mongoloid seperti orang Palembang sekarang. Mereka ini keturunan pasukan palembang. Kelompok lainnya tinggal di kawasan hutan Jambi berkulit sawo matang, rambut ikal, mata menjorok ke dalam. Mereka tergolong ras wedoid (campuran wedda dan negrito).
Penyebutan Orang Rimba / Orang Kubu
Ada tiga sebutan yang mengandung makna yang berbeda, yaitu:
1. Kubu, merupakan sebutan yang paling populer digunakan oleh terutama orang Melayu dan masyarakat Internasional. Kubu dalam bahasa Melayu memiliki makna peyorasi seperti primitif, bodoh, kafir, kotor dan menjijikan. Sebutan Kubu telah terlanjur populer terutama oleh berbagai tulisan pegawai kolonial dan etnografer pada awal abad ini.
2. Suku Anak Dalam, sebutan ini digunakan oleh pemerintah melalui Departemen Sosial. Anak Dalam memiliki makna orang terbelakang yang tinggal di pedalaman. Karena itulah dalam perspektif pemerintah mereka harus dimodernisasikan dengan mengeluarkan mereka dari hutan dan dimukimkan melalui program Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT).
3. Orang Rimba, adalah sebutan yang digunakan oleh etnik ini untuk menyebut dirinya. Makna sebutan ini adalah menunjukkan jati diri mereka sebagai etnis yang mengembangkan kebudayaannya yang tidak bisa lepas dari hutan. Sebutan ini adalah yang paling proposional dan obyektif karena didasarkan kepada konsep Orang Rimba itu sendiri dalam menyebut dirinya.
Wilayah pemukiman
Secara garis besar di Jambi mereka hidup di 3 wilayah ekologis yang berbeda, yaitu Orang Kubu yang di utara Provinsi Jambi (sekitaran Taman Nasional Bukit 30), Taman Nasional Bukit 12, dan wilayah selatan Provinsi Jambi (sepanjang jalan lintas Sumatra). Mereka hidup secara nomaden dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun banyak dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya.
Adat istiadat
Suku Anak Dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya diatur dengan aturan, norma dan adat istiadat yang berlaku sesuai dengan budayanya. Dalam lingkungan kehidupannya dikenal istilah kelompok keluarga dan kekerabatan, seperti keluarga kecil dan keluarga besar. Keluarga kecil terdiri dari suami istri dan anak yang belum menikah. Keluarga besar terdiri dari beberapa keluarga kecil yang berasal dari pihak kerabat istri. Anak laki-laki yang sudah kawin harus bertempat tinggal dilingkungan kerabat istrinya. Mereka merupakan satu kesatuan sosial dan tinggal dalam satu lingkungan pekarangan. Setiap keluarga kecil tinggal dipondok masing-masing secara berdekatan, yaitu sekitar dua atau tiga pondok dalam satu kelompok.
Secara umum, daur kehidupan Suku Anak Dalam adalah lahir, menikah, beranak-pinak, kemudian meninggal dunia. Suku Anak Dalam Batin Sembilan percaya bahwa ketika anak perempuan Suku Anak Dalam menikah dengan orang luar, maka orang luar tersebut harus ikut dengan Suku Anak Dalam . Adat menetap setelah menikah tersebut dianut oleh Suku Anak Dalam dengan sebutan adat uxorilokal yang menentukan bahwa pengantin baru menetap sekitar pusat kediaman kaum kerabat istri.Setelah menikah, pasangan baru Suku Anak Dalam tersebut akan dibuatkan rumah di seberang sungai besar dan harus hidup mandiri.
Setelah menikah, pasangan baru Suku Anak Dalam tersebut akan membuka beberapa bidang tanah untuk hidup. Selain membuka tanah baru, pasangan baru tersebut juga telah memiliki tanah warisan yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Apabila kelak pasangan tersebut meninggal dunia, tanah warisan tersebut kemudian akan diwariskan kepada anak-anak keturunan mereka selanjutnya. Hukum waris dalam kelompok Suku Anak Dalam tersebut disebut dengan istilah "adat lamo pusako using". Prinsip tersebut menghendaki pembagian harta warisan untuk anak perempuan sama besarnya dengan anak laki-laki. Pemahaman hukum waris ini memberikan jaminan bahwa hak anak, baik laki-laki maupun perempuan, akan selalu terjamin dan terlindungi dari harta warisan dari kedua orang tuanya.
Hukum waris dalam kelompok Suku Anak Dalam tersebut disebut dengan istilah “adat lamo pusako using. Prinsip tersebut menghendaki pembagian harta warisan untuk anak perempuan sama besarnya dengan anak laki-laki. Pemahaman hukum waris ini memberikan jaminan bahwa hak anak, baik laki-laki maupun perempuan, akan selalu terjamin dan terlindungi dari harta warisan dari kedua orang tuanya.
Dalam perkembangannya, Suku Anak Dalam tidak lagi berbicara tentang warisan di level keluarga inti, melainkan dalam keluarga besar. Hal itu disebabkan oleh kebijakan pemerintah dan masuknya industry ekstraktif ke dalam wilayah ulayat mereka yang secara jelas mengganggu kehidupan mereka. Wilayah adat mereka berubah menjadi sempit setelah kedatangan perusahaan-perusahaan tersebut. Hal itu membangkitkan kembali perbincangan tentang warisan wilayah.
Klaim tanah ulayat yang dilakukan oleh Suku Anak Dalam bukan sesuatu yang baru. Sejak zaman puyang-puyang mereka, klaim tanah ulayat tersebut telah terjadi. Pertama, Asisten Residen Palembang pada zaman Belanda pada tahun 1927 telah mengesahkan surat klaim atas tanah ulayat tersebut. Kedua, peta dari kulit kijang yang menggambarkan wilayah ulayat Suku Anak Dalam . Bukti tersebut dipegang oleh Suku Anak Dalam untuk menyuarakan hak mereka terhadap tanah ulayat adat seluas 15.000 hektar.
Bagi mereka, tanah adalah penghubung pada nenek moyang hingga puyang. Maka dari itu, mereka terus mempertahankan diri untuk tetap tinggal di kawasan tanah ulayat tersebut. Jika mereka pergi, mereka akan kehilangan hak atas Tanah ulayat tersebut. Petuah dan warisan dari payuang mereka sangat mereka jaga hingga saat ini.
Cara bertahan hidup
Untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, suku anak anak dalam biasanya melakukan kegiatan berburu atau meramu, menangkap ikan, dan memanfaatkan buah-buahan yang ada di dalam hutan namun dengan perkembangan zaman dan adanya akulturasi budaya dari masyarakat luar, kini beberapa suku anak dalam telah mulai mengenal penegtahuan tentang pertanian dan perkebunan.
Kehidupan mereka sangat mengenaskan seiring dengan hilangnya sumber daya hutan yang ada di Jambi dan Sumatera Selatan, dan proses-proses marginalisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan suku bangsa dominan (Orang Melayu) yang ada di Jambi dan Sumatera Selatan.
Sistem Kepercayaan
Mayoritas suku kubu menganut kepercayaan animisme, tetapi ada juga beberapa puluh keluarga suku kubu yang pindah ke agama Islam.
Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Kubu diakses tanggal 13 februari 2015
http://sosbud.kompasiana.com/2014/09/17/mengenal-suku-anak-dalam-jambi-688654.html diakses tanggal 13 februari 2015
Tidak ada komentar untuk "Sejarah Tentang Suku Anak Dalam"
Posting Komentar