Ketika Peran Guru Disamakan Dengan Gula Pada Kopi
*Oleh: Muhammad Syawal Djamil
Ada sebuah analogi mengenai peran guru dalam sistem pendidikan. Analogi ini sering muncul dan beredar secara berantai pada akun atau grup yang ada pada sosial media, semisal Whatsapp, Facebook, dan sejenisnya. Khususnya ketika ada gejala sosial yang berkenaan dengan pendidikan.
Seorang guru sedang mengajari muridnya
Dalam analogi tersebut, guru diibaratkan dengan gula pada secangkir kopi. Dan orangtua siswa ditamsilkan dengan kopi, sementara siswanya ditamsilkan dengan rasa kopi. Dimana enak atau tidaknya secangkir kopi, apresiasi terhadap gula dialamatkan secara berbeda.
Jika kopi terlalu pahit rasanya, gula lah yang disalahkan. Karena gulanya kurang, atau terlalu sedikit. Sebaliknya, jika kopi dirasakan terlalu manis, gula juga disalahkan. Karena gulanya berlebihan, atau terlalu banyak. Namun, jika kopi dirasakan enak karena takaran gulanya pas, maka peran gula tidak disebutkan. Yang disebutkan adalah "kopinya mantap, rasa kopinya enak", dan sebagainya.
Nah, analogi tersebut menggambarkan bahwa status dan peran guru dalam sistem pendidikan kita adalah demikian; diibaratkan seperti gula, berperan sebagai pelengkap.
Ya, guru dalam kaitannya pada analogi secangkir kopi dianggap sebagai pelengkap, yang begitu mudah untuk dialamatkan kesalahan jika rasa kopinya tidak enak.
Seringpula kita mendengar, posisi guru dalam sistem pendidikan kita kerap sekali dialamatkan kesalahan jika siswa tidak berhasil. Sebaliknya, jika siswa berhasil misalnya dalam menggapai suatu prestasi maka yang dibanggakan adalah orang tua dan siswa tersebut. Hal ini terlihat dari pernyataan dari masyarakat untuk siswa tersebut sebagai siswa yang memang memiliki bakat dan sudah pintar semenjak dari kecil, motivasi belajar dari orantuanya yang tinggi, dan berbagai ungkapan lainnya.
Sedangkan peran guru yang saban hari membimbing, membina dan mengarahkannya ternafikan saat siswa berhasil. Sungguh, sangat sedikit yang mengapresiasi peran guru dibalik keberhasilan seorang siswa.
Baru-baru ini, seperti yang tersiarkan di media lokal Aceh, tiga anggota Dewan Pidie kecewa karena adanya temuan siswa SMP tak bisa membaca (Serambi , 29/01/2019). Adanya temuan tersebut tentunya sangat memalukan, tidak hanya Pidie melainkan Aceh secara keseluruhan. Sebab, Aceh yang sudah sedemikian tahun bergelimpangan dengan kucuran dana Otonomi Khusus dari Pusat, semestinya tidak ada lagi realitas yang begitu miris dan memalukan itu terjadi, apalagi di bidang pendidikan.
Dan, yang menyakitkan lagi --buntut dari adanya kabar temuan tersebut, berkembang pula pada masyarakat semacam isme yang mengatakan guru tidak bekerja secara maksimal, sehingga menyebabkan siswa gagal; tidak bisa membaca.
Tentunya, asumsi ini adalah sesuatu sangat subjektif dan mendiskreditkan status guru, yang sama halnya menyalahkan gula saat kopi terasa pahit atau terlalu manis. Sebab, jika mau ditelisik faktor penyebab gagalnya seorang siswa (seperti tidak bisa membaca) tidak dapat dilihat dari satu sudut sisi. Karena kegagalan pada siswa itu merupakan masalah yang kompleks. Yang datangnya bukanlah dari guru saja. Melainkan dari faktor internal seperti motivasi belajar dari dalam diri (siswa) atau faktor eksternal yaitu motivasi dari keluarga dan lingkungannya.
Menyalahkan guru saat menemukan siswa yang gagal merupakan sebuah tindakan yang tidak wajar --menghindari penyebutan kurang ajar. Karena guru hanyalah perpanjangan tangan dari keluarga siswa untuk menuntaskan tugas orang tuanya. Bahkan karena kesucian cita-citanya seorang guru, yaitu mencerdaskan anak bangsa, mereka rela mengabdi bertahun-tahun dengan ongkos yang mereka terima hanyalah kebanggaan saat melihat siswanya berhasil.
Oleh sebab itu, semestinya jika terdapat siswa yang gagal harus dilihat dari banyak sisi, tidak hanya dari faktor guru saja. Memang ada sebagian guru yang cara bekerjanya tidak proporsional, itu tidak bisa dipungkiri juga. Namun orang tua siswa juga harus dikaitkan pula dalam kasus yang demikian.
Karena tak terpungkiri juga, ada orang tua siswa yang dikarenakan kesibukan dalam ritual kesehariannya, atau sesuatu hal yang terjadi pada pribadinya, membuat peran dan partisipasi terhadap pendidikan anak menjadi berkurang. Mereka menganggap setelah menyekolahkan anaknya, tanggung jawab mereka sudah selesai. Padahal, pendidikan untuk seorang anak adalah tanggung jawab orang tua. Namun karena masyarakat sudah mempercayai sekolah, maka pendidikan si anak pun menjadi tanggung jawab bersama yaitu orang tua, sekolah dan masyarakat.
Dengan demikian, mau tidak mau, kita harus melihat secara bersama dan mencari jalan keluarnya --bukan keluar dari jalan-- ketika mendapati siswa yang gagal. Karena mereka (siswa) adalah proyek kita bersama; keluarga, sekolah dan masyarakat. Yang pada mereka bangsa ini kita amanahkan kemudinya. Nyanban
Ada sebuah analogi mengenai peran guru dalam sistem pendidikan. Analogi ini sering muncul dan beredar secara berantai pada akun atau grup yang ada pada sosial media, semisal Whatsapp, Facebook, dan sejenisnya. Khususnya ketika ada gejala sosial yang berkenaan dengan pendidikan.
Dalam analogi tersebut, guru diibaratkan dengan gula pada secangkir kopi. Dan orangtua siswa ditamsilkan dengan kopi, sementara siswanya ditamsilkan dengan rasa kopi. Dimana enak atau tidaknya secangkir kopi, apresiasi terhadap gula dialamatkan secara berbeda.
Jika kopi terlalu pahit rasanya, gula lah yang disalahkan. Karena gulanya kurang, atau terlalu sedikit. Sebaliknya, jika kopi dirasakan terlalu manis, gula juga disalahkan. Karena gulanya berlebihan, atau terlalu banyak. Namun, jika kopi dirasakan enak karena takaran gulanya pas, maka peran gula tidak disebutkan. Yang disebutkan adalah "kopinya mantap, rasa kopinya enak", dan sebagainya.
Nah, analogi tersebut menggambarkan bahwa status dan peran guru dalam sistem pendidikan kita adalah demikian; diibaratkan seperti gula, berperan sebagai pelengkap.
Ya, guru dalam kaitannya pada analogi secangkir kopi dianggap sebagai pelengkap, yang begitu mudah untuk dialamatkan kesalahan jika rasa kopinya tidak enak.
Seringpula kita mendengar, posisi guru dalam sistem pendidikan kita kerap sekali dialamatkan kesalahan jika siswa tidak berhasil. Sebaliknya, jika siswa berhasil misalnya dalam menggapai suatu prestasi maka yang dibanggakan adalah orang tua dan siswa tersebut. Hal ini terlihat dari pernyataan dari masyarakat untuk siswa tersebut sebagai siswa yang memang memiliki bakat dan sudah pintar semenjak dari kecil, motivasi belajar dari orantuanya yang tinggi, dan berbagai ungkapan lainnya.
Sedangkan peran guru yang saban hari membimbing, membina dan mengarahkannya ternafikan saat siswa berhasil. Sungguh, sangat sedikit yang mengapresiasi peran guru dibalik keberhasilan seorang siswa.
Baru-baru ini, seperti yang tersiarkan di media lokal Aceh, tiga anggota Dewan Pidie kecewa karena adanya temuan siswa SMP tak bisa membaca (Serambi , 29/01/2019). Adanya temuan tersebut tentunya sangat memalukan, tidak hanya Pidie melainkan Aceh secara keseluruhan. Sebab, Aceh yang sudah sedemikian tahun bergelimpangan dengan kucuran dana Otonomi Khusus dari Pusat, semestinya tidak ada lagi realitas yang begitu miris dan memalukan itu terjadi, apalagi di bidang pendidikan.
Dan, yang menyakitkan lagi --buntut dari adanya kabar temuan tersebut, berkembang pula pada masyarakat semacam isme yang mengatakan guru tidak bekerja secara maksimal, sehingga menyebabkan siswa gagal; tidak bisa membaca.
Tentunya, asumsi ini adalah sesuatu sangat subjektif dan mendiskreditkan status guru, yang sama halnya menyalahkan gula saat kopi terasa pahit atau terlalu manis. Sebab, jika mau ditelisik faktor penyebab gagalnya seorang siswa (seperti tidak bisa membaca) tidak dapat dilihat dari satu sudut sisi. Karena kegagalan pada siswa itu merupakan masalah yang kompleks. Yang datangnya bukanlah dari guru saja. Melainkan dari faktor internal seperti motivasi belajar dari dalam diri (siswa) atau faktor eksternal yaitu motivasi dari keluarga dan lingkungannya.
Menyalahkan guru saat menemukan siswa yang gagal merupakan sebuah tindakan yang tidak wajar --menghindari penyebutan kurang ajar. Karena guru hanyalah perpanjangan tangan dari keluarga siswa untuk menuntaskan tugas orang tuanya. Bahkan karena kesucian cita-citanya seorang guru, yaitu mencerdaskan anak bangsa, mereka rela mengabdi bertahun-tahun dengan ongkos yang mereka terima hanyalah kebanggaan saat melihat siswanya berhasil.
Oleh sebab itu, semestinya jika terdapat siswa yang gagal harus dilihat dari banyak sisi, tidak hanya dari faktor guru saja. Memang ada sebagian guru yang cara bekerjanya tidak proporsional, itu tidak bisa dipungkiri juga. Namun orang tua siswa juga harus dikaitkan pula dalam kasus yang demikian.
Karena tak terpungkiri juga, ada orang tua siswa yang dikarenakan kesibukan dalam ritual kesehariannya, atau sesuatu hal yang terjadi pada pribadinya, membuat peran dan partisipasi terhadap pendidikan anak menjadi berkurang. Mereka menganggap setelah menyekolahkan anaknya, tanggung jawab mereka sudah selesai. Padahal, pendidikan untuk seorang anak adalah tanggung jawab orang tua. Namun karena masyarakat sudah mempercayai sekolah, maka pendidikan si anak pun menjadi tanggung jawab bersama yaitu orang tua, sekolah dan masyarakat.
Dengan demikian, mau tidak mau, kita harus melihat secara bersama dan mencari jalan keluarnya --bukan keluar dari jalan-- ketika mendapati siswa yang gagal. Karena mereka (siswa) adalah proyek kita bersama; keluarga, sekolah dan masyarakat. Yang pada mereka bangsa ini kita amanahkan kemudinya. Nyanban
***
Artikel ini sudah dimuat di media: Koran Independen
Tidak ada komentar untuk "Ketika Peran Guru Disamakan Dengan Gula Pada Kopi"
Posting Komentar