Sejarah Singkat PKI di Indonesia

Sebuah peristiwa besar dan penting dalam sejarah Indonesia terjadi. Ketika itu, Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan Muso melakukan pemberontakan di Madiun, Jawa Timur. Tepat pada tanggal hari ini, 71 tahun yang lalu, 18 September 1948, Negara Republik Soviet Indonesia dideklarasikan oleh Musso, dengan dukungan mantan Menteri Pertahanan, Amir Sjariffudin, di Madiun.


Menyikapi hal tersebut, Soekarno memerintahkan untuk memberantas semua pemberontakan yang terjadi di Madiun. Puncak dari peristiwa ini adalah tewasnya Musso dalam baku tembak, sementara sebelas pemimpin puncak PKI lainnya dieksekusi mati.Tahun 1948, setelah 22 tahun berada di Moskow, Musso pulang ke Indonesia bersama Suripno, Dubes RI di Praha. Musso yang sebelumnya yang tidak bisa pulang ke Tanah Air, meminta tolong kepada Suripno dengan menyamar sebagai sekretarisnya. Ia membawa misi baru dari Moskow.

Awal Agustus, mereka berdua tiba di Yogyakarta dan diterima oleh Soekarno, di Istana Gedung Yogyakarta. Pertemuan dua sahabat lama--Musso dan Soekarno adalah teman satu kos di rumah Tjokroamionoto, Surabaya--yang cukup mengharukan. Setelah cukup lama berbincang tentang gerakan kiri di dunia internasional dan bersenda gurau mereka pun undur diri. Sebelum berpisah, Sukarno minta supaya Musso membantu memperkuat negara dan melancarkan revolusi, selain juga memberikan buah tangan dari buku karyanya, Sarinah.

Musso menjawab: “Itu memang kewajiban saya. Ik kom hier om orde te scheppen! (Saya datang di sini untuk menciptakan ketertiban).” Menurut Harry A. Poeze dalam buku jilid keempat dari seri Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia ini, “kalimat terakhir itu yang diucapkan dalam bahasa Belanda mengandung sasmita yang buruk”.

Misi yang dibawa Musso ke Indonesia adalah sebuah resolusi yang dikenal dengan nama "Jalan Baru untuk Republik Indonesia" dengan meleburkan tiga partai bermahzab Marxisme-Leninisme (Partai Komunis Indonesia, Partai Buruh Indonesia, dan Partai Sosialis) yang kemudian akan memimpin revolusi proletariat dalam sebuah pemerintahan front nasional.

Untuk unjuk kekuatan Musso kemudian menggelar rapat raksasa di Yogyakarta dan membentuk organisasi Front Demokrasi Rakyat (FDR), melontarkan pentingnya pergantian kabinet presidensil menuju kabinet front persatuan. Ia juga menyerukan kerjasama dengan soviet untuk mematahkan blokade Belanda. Selain itu, untuk menyebarkan gagasannya Musso melakukan safari  ke daerah-daerah di Jawa, seperti Solo, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Puerwodadi, dan Wonosobo. Namun di tengah safari tersebut, peristiwa Madiun meletus.

Pecahnya Peristiwa Madiun sebenarnya didahului oleh renteten peristiwa antara di Madiun dan Solo dengan terbunuhnya Kolonel Soetarto dari Komando Pertempuran Panembahan Senopati (PPS). Tuduhan pelakunya kemudian dialamatkan kepada Divisi Siliwangi yang saat itu hijrah dari Jawa Barat dan bermarkas di Solo.

Pasca tewasnya Soetarto, culik menculik pun terjadi dan jalan damai tidak dapat ditempuh antar kedua belah pihak. Ketegangan kian memuncak ketika pemimpin sayap Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) lewat pemimpin sayap militernya, dr Muwardi dibunuh dan jenazahnya tidak diitemukan. GRR dalam hal ini kemudian memuding FDR sebagai pelakunya.

D.N. Aidit dalam bukunya Konfrontasi Peristiwa Madiun 1948 - Peristiwa Sumatera 1956, dikutip dari Tirto kemudian menuliskan; “Sesudah penculikan-penculikan dan pembunuhan-pembunuhan di Solo yang diatur dari Yogyakarta, keadaan di Madiun menjadi sangat tegang sehingga terjadilah pertempuran antara pasukan-pasukan dalam Angkatan Darat yang pro dan yang anti penculikan dan pembunuhan-pembunuhan di Solo, yaitu pertempuran pada tanggal 18 September 1948 malam,” tulis Aidit.

Menurut Aidit, peristiwa di Solo adalah settingan dari Hatta yang lalu berbuntut pada ketegangan di Madiun. Sebagaimana diketahui, Hatta yang pada saat itu menjabat sebagai wakil presiden sekaligus perdana menteri merasa diperlemah oleh gerakan Musso.

Tidak seperti Musso yang memilih untuk menginduk ke Rusia, Hatta memilih untuk mencapai Indonesia merdeka secara seluruhnya dengan cara membuka perundingan. Lain dari itu ia juga tak tertarik dengan konflik Internasional Amerika-Rusia. Ketegangan di Solo kemudian menjalar di Madiun, hingga pecahlah konflik bersenjata yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Madiun.

Pada 18 September, Soemarsono, Komandan Pasukan Brigade 29, yang pro terhadap PKI melucuti dan menawan 350 Prajurit Siliwangi di Madiun  yang juga diikuti dengan penjarahan, tembak-menembak, dan kepanikan penduduk.

Berita itu sampai di Yogyakarta pada petang harinya. Soekarno pun memerintahkan militer untuk mengambil tindakan tegas; pemberontakan harus ditumpas. Hatta juga menegaskan, “Het is nu een zaak van leven of dood. Er op of er onder” (Sekarang soalnya hidup atau mati. Menang atau kalah). Setelah mempreteli pasukan FDR di yogya, pasukan Siliwangi kemudian datang dan menumpas kekuatan di Madiun, hingga upaya kelompok Komunis di Madiun gagal total.

Dikutip dari Historia, penyebab utamanya karena tak adanya dukungan rakyat. Pilihan kepada rakyat untuk memilih Sukarno atau Musso kemudian dimenangkan oleh Sukarno. Musso, dengan kata-katanya yang pedas, telah menjauhkan dirinya dari kalangan Islam dan GRR. Ia kemudian terbunuh pada 31 Oktober 1948 setelah melarikan diri.Hingga akhir hayatnya Musso gagal menciptakan ketertiban sebagaimana pernah ia ucapkan kepada Soekarno. Revolusi telah memakan anaknya sendiri.

***
sumber: dikutip dari berbagai artikel

Tidak ada komentar untuk "Sejarah Singkat PKI di Indonesia"