Islam dan Masyarakat Aceh
Hampir semua ahli sejarah menyatakan bahwa daerah Indonesia yang mula-mula dimasuki Islam ialah daerah Aceh. Hanya mengenai bila dan tahun berapa Islam itu mulai masuk, belum dapat dijelaskan dengan pasti. (Hamka, 1945:2—3). Menurut kesimpulan seminar masuknya Islam ke Indonesia yang berlangsung di Medan pada tanggal 17 sampai dengan 20 Maret 1963, Islam untuk pertama kalinya telah masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijrah (abad ketujuh/kedelapan Masehi) dan langsung dari Arab.
Daerah yang pertama di datangi oleh Islam ialah pesisir Sumatera dan bahwa setelah terbentuknya masyarakat Islam, maka raja Islam yang pertama berada di Aceh. Bahwa penyiaran Islam di Indonesia itu dilakukan dengan cara damai. Bahwa kedatangan Islam ke Indonesia, membawa kecerdasan dan peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia. (Risalah Seminar, 1963 : 265)
Baca juga:Struktur Sosial Masyarakat Aceh Sebelum Dikuasai Belanda
Ulama dan Dasar Pengakuannya
Daerah yang pertama di datangi oleh Islam ialah pesisir Sumatera dan bahwa setelah terbentuknya masyarakat Islam, maka raja Islam yang pertama berada di Aceh. Bahwa penyiaran Islam di Indonesia itu dilakukan dengan cara damai. Bahwa kedatangan Islam ke Indonesia, membawa kecerdasan dan peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia. (Risalah Seminar, 1963 : 265)
Mesjid Baiturrahman, Ikon dan Kebanggaan Rakyat Aceh (republika)
1. Adat dan Hukum Islam
Masuknya Islam ke Aceh pada abad ketujuh atau kedelapan masehi, banyak sekali mempengaruhi adat-istiadat Aceh. Malahan pengaruh Islam itu sangat besar, sehingga ada pepatah yang berbunyi: Hukom ngo Adat lagee Zat ngo sipheuet (Hukum dengan adat seperti benda dengan sifatnya, tidak terpisah). Yang dimaksud dengan hukum di sini ialah hukum Islam yang diajarkan oleh para ulama. Ini ditunjukkan oleh pepatah lain yang berbunyi:
Adat bak Meureuhom, Hukum Bak Syiah Ulama.
Yang dimaksud dengan Poteu Meureuhom ialah almarhum Sulthan Iskandar Muda.
(Ismuha, 1975 : 37).
Demikian besar pengaruh Islam di Aceh, sehingga sapaan waktu berjumpa dan ucapan waktu berpisah, tidak lagi diucapkan yang lain-lain melainkan sudah menjadi Assalamu'alaikum (selamat, Tuan) dan jawabannya: W'a'Alaikumssalam Wa Rahmatullah - (Tuan juga selamat beserta rahmat Allah). Bila seseorang menerima pemberian dari orang lain, tidak lagi mengucapkan: Terima kasih atau yang lain, melainkan sudah diganti dengan Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah). Apabila mendengar ada orang meninggal, segera mengucapkan: Innaa Lillahi Wa Innaa Ilaihi Raaji'uun (Semua kita milik Allah dan semua kita akan kembali kepada-Nya).
Di Aceh, tangan kanan dan tangan kiri tidak sama nilainya, meskipun lahirnya sekali gus. Oleh karena itu pantang sekali orang memberi salam dengan tangan kiri. Juga pantang menerima sesuatu dari orang lain dengan tangan kiri, demikian pula menyerahkannya, kecuali kalau terhadap anak-anak. Juga terlarang menunjuk sesuatu dengan tangan kiri. (Ismuha, 1975: 41).
Kecuali di daerah Gayo Alas, sistim kekeluargaan di Aceh adalah parental. Oleh karena itu, sesuai dengan hukum Islam, orang boleh kawin dengan saudara sepupunya, baik saudara sepupu dari fihak ayah, maupun dari fihak ibu. Demikian pula hukum warisan. Sejak zaman Iskandar Muda sampai sekarang, yang dipakai hukum Islam, baik di Pengadilan Negeri, apa lagi di Pengadilan Agama. (Ismuha,1975 : b. 39).
Tempat umum di tiap-tiap kampung disebut: Meunasah. Berasal dari bahasa Arab Madrasah yang berarti tempat belajar atau sekolah. Memang Meunasah itu mempunyai multi fungsi. Di antaranya sebagai tempat belajar membaca Qur'an dan pelajaran-pelajaran lain sehingga ia merupakan S.D. (Sekolah Dasar). Fungsi lain dari Meunasah itu adalali sebagai tempat shalat lima-waktu untuk kampung itu.
Dalam hubungan ini: diatur pula letak Meunasah itu harus berbeda dengan letak rumah, supaya orang segera dapat mengetahui mana yang rumah dan mana pula yang Meunasah dan sekaligus juga orang dapat mengetahui kemana arah kiblat kalau akan shalat. Fungsi lain ialah sebagai tempat shalat Tarawih dan tempat membaca Qur'an bersamasama di bulan puasa, serta tempat kenduri maulud pada bulan mauludan. Juga sebagai tempat menyerahkan zakat fithrah pada hari raya puasa, tempat menyembelih qurbap pada hari raya haji, tempat mengadakan perdamaian bilja terjadi sengketa antara anggota kampung itu, tempat bermusyawarah dalam segala urusan, dan masih banyak lagi fungsinya.
2. Sikap Rakyat Terhadap Islam
Sebagai hasil usaha para ulama dan para muballigh Islam sejak mulanya Islam masuk di Aceh, maka rakyat Aceh sangat fanatik kepada Islam. Fanatik adalah lain daripada taat. Seorang yang fanatik belum tentu taat. Kalau kita katakan mereka tidak Islam, mereka marah betul dan matipun mereka mau. Tetapi belum tentu semua mereka shalat dan puasa. Menurut tinjauan permulaan, mengenai tidak shalat lebih banyak di kalangan wanita, sedang mengenai puasa, hampir tidak ada wanita yang tidak puasa, kecuali dalam keadaan kotor yang memang tidak dibolehkan puasa.
Sebaliknya yang tidak puasa, lebih banyak di kalangan pria. Wanita lebih taat mengenai puasa. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena wanita lebih banyak tinggal di rumah dan mereka senang menyiapkan macam-macam makanan untuk berbuka. Sedapnya memakan makanan itu, kalau orang memang puasa. Sedang pria dapat keluyuran ke-kota, sehingga dapat makan dani minum dengan sembunyi-sembunyi di warung Cina oleh karena itulah sejak revolusi, di Aceh dilarang Cina berjualan makanan masak di siang hari selama bulan puasa. Sesudah penyerahan kedaulatan, larangan ini tidak bertahan lama, kemudian diperbaharui lagi sejak keluarnya Keputusan Penguasa Perang Daerah untuk Daerah Istimewa Aceh pada tanggal 7 April 1972 No. KPTS/PEPERDA-061/3/1962, yang ditandatangani oleh Panglima Daerah I Militer I/Iskandar Muda selaku Penguasa Perang Daerah untuk Daerah Istimewa Aceh, Kolonel M. Jasin. Keputusan tersebut berisi:
Pertama :
Terlaksananya secara tertib dan seksama unsur-unsur Syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh, dengan mengindahkan peraturan perundangan Negara.
Kedua :
Penertiban pelaksanaan arti dan maksud ayat pertama di atas, diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah Daerah Istimewa Aceh.
Berdasarkan Keputusan Peperda tersebut, maka DPRD Gotong-Royong Daerah Istimewa Aceh, sesudah lima kali sidang, maka pada tanggal 15 Agustus 1962 mengeluarkan pernyataan sebagai berikut:
I. Dalam batas-batas wewenang serta kemungkinan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, Pemerintah Daerah Istimewa Aceh akan melaksanakan unsur-unsur Syari'at Islam bagi pemelukpemeluknya sesuai seperti prinsip-prinsip yang terkandung dalam Keputusan Peperda tanggal 7 April 1962 No. KPTS/PEPERDA-061/3/1962.
II. Untuk pelaksanaan usaha tersebut, akan dibuat peraturan-peraturan Daerah dan untuk merencanakan peraturan-peraturan itu, dimana dianggap perlu, .akan diserahkan kepada suatu panitia yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah.
III. Untuk menjaga jangan ada kesimpang-siuran di dalam pengertian dan penyelenggaraan tentang unsurunsur Syari'at Islam yang dimaksud, meminta kepada Pemerintah Pusat supaya segera membuat UndangUndang Pokok tentang Agama. (Sekretariat DPRDGR Daerah Istimewa Aceh, 1972: 207).
Baik keputusan Peperda tersebut di atas, maupun
***
Sumber:
Dr. Taufik Abdullah. 1983. Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali
Sumber:
Dr. Taufik Abdullah. 1983. Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali
Tidak ada komentar untuk "Islam dan Masyarakat Aceh"
Posting Komentar