Mengenal Ratu Naqiatuddin, Salah Satu Wanita Aceh dalam Pemerintahan
Ketika ia masih hidup, Ratu Safiatuddin telah mempersiapkan tiga orang wanita untuk menjadi penggantinya, salah seorang bernama Puteri Naqiah. Sesuai dengan ketentuan dalam Kanun Al-Asyi atau Adat Meukuta Alam, maka sebelum Ratu Safiatuddin dimakamkan, dilantiklah Puteri Naqiah menjadi Raja Aceh pada tanggal 1 Sya'ban 1086 H (23 Oktober 1675 M), dengan gelar Seri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin, yang memerintah sampai tahun 1678 M.
Sejak awal pemerintahannya Ratu Naqiatuddin telah menghadapi tantangan-tantangan yang besar, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Ancaman terhadap kerajaan Aceh bertambah hebat dari Barat (Belanda, Portugis, Inggeris) yang membawa agama Kristen, sementara di dalam negeri "kaum Wujudiyah" yang telah menyimpang dari ajaran Islam, berusaha meningkatkan oposisinya terhadap Ratu Naqiatuddin dengan melakukan sabotase berupa pembakaran kota Banda Aceh. Masjid Raya Baiturrahman dan Istana Seri Sulthan beserta segala isinya habis musnah dimakan api. Kebakaran di Aceh yang maha dahsyat itu turut menggemparkan Malaka, yang memuat peristiwa itu dalam tambo kerajaan pada tahun 1677 M.
Dalam upaya menekan oposisi "kaum wujudiyah" dan kelompok oposisi lain, Ratu Naqiatuddin mengadakan perobahan-perobahan dalam pemerintahan, antara lain menyempurnakan Kanun Al-Asyi atau Adat Meukuta Alam, dengan petunjuk-petunjuk Kadli Malikul Adil Syekh Abdurrauf Syiah Kuala dan dengan persetujuan Balai Majlis Mahkamah Rakyat. Perubahan itu antara lain mengenai ketentuan pengangkatan Sultan dan penyempurnaan Federasi Tiga Sagi yang telah dibentuk oleh Ratu Safiatuddin. Dalam hubungan itu, maka kedudukan ketiga Panglima Sagi menjadi sangat kuat, dimana merekalah yang memberi kata akhir dalam pengangkatan atau pemberhentian seorang Sultan.
Sabotase dari "kaum Wujudiyah" menyebabkan pemerintahan Seri Ratu Naqiatuddin tidak berjalan lancar dan juga membawa dampak negatif kepada para Ratu yang memerintah setelahnya.
***
Referensi:
Ali Hasjmy. 1993. Wanita Aceh Dalam Pemerintahan dan Peperangan. Banda Aceh - Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy
Sejak awal pemerintahannya Ratu Naqiatuddin telah menghadapi tantangan-tantangan yang besar, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Ancaman terhadap kerajaan Aceh bertambah hebat dari Barat (Belanda, Portugis, Inggeris) yang membawa agama Kristen, sementara di dalam negeri "kaum Wujudiyah" yang telah menyimpang dari ajaran Islam, berusaha meningkatkan oposisinya terhadap Ratu Naqiatuddin dengan melakukan sabotase berupa pembakaran kota Banda Aceh. Masjid Raya Baiturrahman dan Istana Seri Sulthan beserta segala isinya habis musnah dimakan api. Kebakaran di Aceh yang maha dahsyat itu turut menggemparkan Malaka, yang memuat peristiwa itu dalam tambo kerajaan pada tahun 1677 M.
Dalam upaya menekan oposisi "kaum wujudiyah" dan kelompok oposisi lain, Ratu Naqiatuddin mengadakan perobahan-perobahan dalam pemerintahan, antara lain menyempurnakan Kanun Al-Asyi atau Adat Meukuta Alam, dengan petunjuk-petunjuk Kadli Malikul Adil Syekh Abdurrauf Syiah Kuala dan dengan persetujuan Balai Majlis Mahkamah Rakyat. Perubahan itu antara lain mengenai ketentuan pengangkatan Sultan dan penyempurnaan Federasi Tiga Sagi yang telah dibentuk oleh Ratu Safiatuddin. Dalam hubungan itu, maka kedudukan ketiga Panglima Sagi menjadi sangat kuat, dimana merekalah yang memberi kata akhir dalam pengangkatan atau pemberhentian seorang Sultan.
Sabotase dari "kaum Wujudiyah" menyebabkan pemerintahan Seri Ratu Naqiatuddin tidak berjalan lancar dan juga membawa dampak negatif kepada para Ratu yang memerintah setelahnya.
***
Referensi:
Ali Hasjmy. 1993. Wanita Aceh Dalam Pemerintahan dan Peperangan. Banda Aceh - Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy
Tidak ada komentar untuk "Mengenal Ratu Naqiatuddin, Salah Satu Wanita Aceh dalam Pemerintahan "
Posting Komentar