Korupsi dikatakan sebagai budaya Indonesia, Wajarkah ??
Mungkin sebahagian
orang akan menolak jika korupsi disebut sebagai budaya Indonesia.
Dewasa ini, korupsi memang telah menjadi persoalan
yang rumit di Indonesia karena dilakukan secara sitematis. Hal ini dapat kita
lihat secara nyata lewat berita-berita korupsi yang baik yang dimuat dimedia
massa maupun media elektronik hilang ditengah jalan dan tak tahu bagaimana
kelanjutannya karena menyangkut orang-orang berkuasa, sebut saja kasus
Hambalang, BLBI, Century, Kasus Suap Sapi, dan lainnya yang hingga kini belum
menemukan titik akhir.
Jika kita melihat sejarah, korupsi, kolusi dan
nepotisme sudah terjadi, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Berawal sejak
Indonesia masih berupa sebuah kepualauan nusantara yang teriri dari kerajaan-kerajaan,
nepotisme sudah berjalan karena tahta raja diwariskan secara turun temurun.
Bukan tidak mungkin, pada masa itu korupsi dan kolusi pun mulai merebak,
seiring adanya upeti yang harus dibayarkan rakyat kepada raja yang bekuasa.
Pada masa penjajahan Belanda tepatnya saat tanam
paksa dilakukan, ada enam peraturan tentang tanam paksa yang kesemuanya
dilanggar oleh pihak Belanda ataupun para aparaturnya. Salah satunya peraturan
bahwa tanah yang ditanami tanaman wajib yaitu 1/5 tanah penduduk tidak dipungut
pajak, namun dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar upeti yang
tidak hanya dinikmati orang belanda tapi juga aparaturnya yang termasuk
pribumi. Jelaslah bahwa hal ini merupakan tindak korupsi.
Seiring dengan berjalannya waktu, 17 Agustus 1945
bangsa kita telah memproklamasikan kemerdekaannya, tetapi bangsa kita tetap
belum merdeka dari korupsi. Bahkan pada masa pemerintahan Soekarno, korupsi
masih menjadi penyakit bangsa yang sulit diobati meski telah dua kali dibentuk
badan pemberantasan korupsi bernama PARAN (Panitia Retooling Aparatur Negara)
dan Operasi Budhi. Sayangnya Operasi Budhi yang mampu menyelamatkan uang negara
sebanyak Rp11 miliar, harus dibubarkan karena dianggap mengganggu prestise
presiden yang mengetuai badan tersebut.
Bergantinya masa orde lama menjadi masa orde baru
nyatanya tidak mampu membuat korupsi menghilang, tapi semakin merajalela karena
tertutupnya sitem pemerintahan saat itu. Perusahaan-perusahaan negara seperti
Bulog, Pertamina serta Departemen Kehutanan menjadi sorotan tajam masyarakat
karena dianggap sebagai sarang koruptor. Keberadaan Tim Pemberantasan Korupsi
(TPK) pun dipertanyakan karena dianggap tidak mampu mencegah ataupun
menindaklanjuti perkara korupsi kala itu.
Kini, reformasi yang tadinya digaung-gaungkan
untuk memberantas korupsi, ternyata belum dapat mewujudkannya. Bahkan saat ini
korupsi telah mengganas karena mulai dilakukan oleh hampir setiap lapisan
masyarakat, mulai dari pejabat, Pegawai Negeri Sipil (PNS), pegawai swasta
bahkan hingga anak yang membohongi orangtua. Ya, tak sedikit anak, misal
meminta uang buku yang seharga Rp40 ribu menjadi Rp50 ribu kepada orangtuanya.
Meskipun jumlah itu kecil, tetap saja itu sebuah tindak korupsi.
Dengan demikian, wajarkah korupsi dikatakan sebagai
budaya? Wajar memang jika kita memahami budaya sebagai suatu cara hidup yang
berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari
generasi ke generasi. Namun, bukankah kata budaya berasal dari bahasa
sansekerta yaitu buddhayah artinya hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia? Jika demikian, korupsi bukan budaya karena budaya bersifat positif
sedangkan korupsi bersifat negatif.
Lagi pula penggunaan embel-embel budaya pada
korupsi tidaklah tepat karena jika korupsi adalah budaya, korupsi harus
dilestarikan layaknya budaya-budaya lain. Jika korupsi diberikan lebel budaya,
maka para koruptorlah yang benar karena telah melestarikan budaya. Namun kita
semua tahu bahwa tindak korupsi tidaklah benar apapun alasannya.
Di dunia ini, tak ada satupun negara yang terbebas
dari korupsi sehingga janganlah kita berpikir koruspsi adalah budaya bangsa.
Hilangkanlah kata budaya pada korupsi karena sebenarnya korupsi adalah perilaku
menyimpang yang menjangkiti seseorang. Tapi, galakkan lah budaya antikorupsi
karena yang sebenarnya harus dibudayakan adalah pemberantasan korupsi.
Sebenarnya, korupsi iu layaknya penyakit kanker
yang jika terus dibiarkan maka penyakitnya akan menyebar ukeseluruh tubuh, yang
bila didiamkan terus, maka menyebabkan kematian penderitanya. Marilah kita
bersama memberantas korupsi agar korupsi di Indonesia tidak terus merambah
bagian diseluruh negeri ini dan tidak pula menyebabkan matinya keuangan negara.
Pendidikan moral khususnya kejujuran, kesadaran bahwa korupsi itu salah serta
tegaknya hukum adalah obat yang paling mujarab untuk menghilangkan korupsi.
Tidak ada komentar untuk "Korupsi dikatakan sebagai budaya Indonesia, Wajarkah ??"
Posting Komentar