Analisa Administrasi Pemerintahan Aceh

Administrasi adalah usaha dan kegiatan yang berkenaan dengan penyelenggaraan kebijaksanaan untuk mencapai tujuan pada sebuah pemerintahan. Dalam arti yang sempit administrasi diartikan sebagai kegiatan yang meliputi: catat-mencatat, surat-menyurat, pembukuan ringan, ketik-mengetik, agenda, dan sebagainya yang bersifat teknis ketatausahaan.


Kantor Pemerintahan Aceh

Secara general masyarakat sering mengidentikkan administrasi dengan pola pelayanan pemerintah. Oleh sebab itu sering kali bagus atau tidaknya sebuah administrasi daerah dapat dinilai dari tampilan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah di daerah tersebut.


Di Indonesia sendiri, realita sehari-hari menunjukkan administrasi pemerintahan yang masih dalam katagori tidak seperti diharapkan. Atau dengan kata lain pola administrasinya masih buruk. Dapat dibayangkan bagaimana tidak menyenangkannya administrasi di Indonesia. Untuk kebutuhan satu hal yang sangat ringan saja, misalnya pembuatan kartu penduduk, kita harus melalui beberapa meja. Setiap meja yang dilalui pun memberikan realitasnya sendiri, terkadang berhadapan dengan orang yang sombong dalam melayani, suka marahan, dan sebagainya.  Belum lagi, kepala atau pimpinan yang membidanginya itu tidak ada ditempat, padahal masih dalam jadwal tugasnya melayani masyarakat. Maka untuk hal yang ringan itu saja prosesnya membutuhkan waktu yang lama. 

Sebagai contoh lain yang lebih kongkret, terlihat pada bidang administrasi kepolisian. Walaupun di salah satu stasiun TV Indonesia menampilkan sebuah acara khusus untuk tontonan masyarakat yang dikemas dalam judulnya “86”,bahwa administrasi kepolisian Indonesia itu baik dan bagus, khususnya dalam melayani dan menghimbau masyarakat untuk selalu taat hukum, dan lainnya. Namun dalam kenyataan dilapangan berbanding terbalik dengan yang terlihat pada acara “86” tersebut, malah bukannya mengayomi masyarakat tapi terkesan “menganiayai” masyarakat. Seperti yang diutarakan oleh seorang warga, apabila kita kehilangan suatu barang, atau ada perselisihan antar warga dikampong, maka permasalahannya menjadi tambah ribut dan berkepanjangan jika sudah berhubungan dengan polisi. 

Pada setiap instansi atau institusi polisi memang menunjukkan bahwa polisi siap melayani masyarakat 24 jam, seperti yang terbentang pada spanduk di setiap instansi polisi “KAMI SIAP MELAYANI ANDA 24 JAM”. Namun, ketika masyarakat menginginkan pelayanan polisi untuk suatu bidang permasalahan saja, masyarakat harus mengeluarkkan cost yang bisa dikatakan tidak murah. Istilahnya untuk melapor kehilangan satu kambing, cost nya bisa jadi satu kerbau. Boleh saja kalau mereka dari golongan yang kaya, dalam artinya sanggup mengikuti “aturan” administrasi polisi tersebut. Namun jika masyarakat yang berasal dari golongan lemah tentu mereka tak akan bisa menyanggupinya. Maka oleh sebab itu, timbullah beragam permasalahan lainnya, seperti masyarakat “main hakim” sendiri ketika mendapati suatu permasalahan, tidak percaya lagi pada birokrasi kepolisian dan lain sebagainya.


Kita lihat lagi ketika adanya razia yang dilakukan oleh polisi dijalan-jalan. Kesannya sekarang yang terlihat bukan lagi polisi yang membimbing masyarakat untuk mematuhi peraturan lalu lintas, tetapi lebih kepada pemerasan para pengguna lalu lintas. Bahkan terkadang ada oknum polisi seakan menjadikan masyarakat khususnya yang tak taat laku lintas untuk dijadikan sebagai “mangsa” pemerasan. Hal ini terlihat dari banyaknya posisi-posisi lokasi razia yang tak terduga, dan kesannya menjebak masyarakat seperti lokasi razia di persimpangan, disekeliling pasar, dan lain sebagainya. 

Memang administrasi polisi bukan satu-satunya sebagai administrasi pemerintah yang dianggap negative oleh masyarakat. Pada bidang lain, dalam dunia kesehatan misalnya walaupun pemerintah yang dipusat dan pemerintah didaerah sudah berupaya untuk memodifikasi administrasi kesehatan dengan baik, seperti dengan banyaknya program kesehatan gratis yang diberikan, dimana untuk biaya dan pengobatannya sudah disubsidikan oleh pemerintah dengan tujuan agar pelayanan terhadap pasien baik dari strata tinggi maupun rendah mendapat hak dan kesempatan yang sama, tapi dalam prosesnya tetap saja belum memuaskan dan masih tidak berpihak pada golongan bawah atau kalangan miskin. Pegawai di rumah sakit cenderung mendahulukan pelayanannya kepada pasien yang mempunya relasi dengan mereka, padahal sebenarnya setiap masyarakat memiliki hak untuk diperlakukan yang sama dan pegawai kesehatan mempunyai kewajiban untuk merealisasikan pola administrai yang telah ditetapkan oleh pemerintah dengan baiknya itu.

Administrasi Pemerintahan Aceh

Dalam konteks yang lebih khusus dengan ruang lingkup yang tidak luas, kita bisa melihat administrasi pada Pemerintahan Aceh, sebagai gambaran administrasi negara yang tidak bagus. Hal ini terlihat dari beberapa bidang yang bisa dijadikan sebagai indikatornya. Hal utama yang sangat terlihat adalah banyaknya perombakan kabinet pada tubuh pemerintah Aceh sekarang. Pemerintah Aceh saat ini (ZIKIR) telah merombak kabinet kerjanya sebanyak 7 kali dalam masa pemerintahannya yang baru berjalan lebih kurang 3,5 tahun. Otomatis, pergantian kabinet kerja yang terlalu sering ini berpengaruh pada emosional para perumus kebijakan dan program-program kerja dari setiap bidang yang dirombak, dan pada akhirnya melahirkan pelayanan yang tidak baik bagi masyarakat. Banyaknya perombakan kabinet juga mengidentifikasikan bahwa Pemerintahan Aceh sekarang ini belum bisa membangun atau menciptakan administrasi pemerintahan yang baik. Sehingga berefek pula pada terciptanya intitusi pemerintahan yang tidak fokus dan dan berkomitmen untuk mengentaskan berbagai problema yang ada dalam masyarakat. Apalagi jika dikaitkan dengan salah satu problema umum yang menggejala negeri kita ini yaitu kemiskinan.
Jika melihat data yang diriliskan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, bahwa penduduk miskin Aceh pada posisi Maret 2015 mencapai 851.000 orang (17,08%) atau bertambah 14.000 orang dibanding posisi September 2014 yang jumlahnya 837.000 orang atau 16,98 persen, kemudian membandingkan dengan target Pemerintah Aceh yang ingin menurunkan angka penduduk miskin 2 persen dalam setahun, tentunya yang bisa kita katakana adalah ekspektasi yang “jauh panggang dari api”. Hal ini dikarenakan pemerintah disibukkan oleh perombakan atau pemutasian kabinet kerjanya. 

Contoh lainnya adalah dibidang pembangunan infrastruktur, kita tahu bahwa banyak program pembangunan infrastruktur selalu dikerjakan pada akhir tahun. Proses pengaspalan atau perbaikan jalan, dimana saja tempantnya dalam pengerjaan selalu dikerjakan pada akhir tahun. Perbaikannya pun dilakukan dalam jangka pendek, belum sampai setahun jalan harus diperbaiki lagi. Maka pemerintah pun disibukkan oleh memperbaiki jalan dari tahun ke tahun. Seorang dosen yang membidangi mata kuliah Asas-Asas Manajemen, pernah mengatakan kepada kami sebagai mahasiswanya, bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah kita sekarang ini jauh sekali berbeda dengan yang dilakukan oleh pemerintah diluar negeri, seperi pemerintah Malaysia. Pemerintah Malaysia, dalam setiap hal khususnya dalam pembangunan infrastruktur, seperti ketika membangun jembatan, mengaspal jalan, mereka mempunyai kerangka acuan yang jelas, bahkan sampai tingkat mana kualitasnya dan akan bertahan sampai berapa tahun lamanya. Hal ini lah yang berbeda, dan tak kita dapatkan pada pemerintah kita. 

Kemudian dalam bidang merumuskan kebijakan, sebagai masyarakat yang awam kita sangat dibingungkan oleh perilaku mereka yang membuat kebijakan. Seperti yang terjadi baru-baru ini dimana.  pada Rabu, 4 November 2015 lalu, mereka mengesahkan APBA-P 2015 yang memuat tambahan proyek-proyek baru pada sisa masa kerja Pemerintah Aceh tahun anggaran 2015 yang tinggal 45 hari lagi. Dengan adanya penambahan tersebut, ditambah masih tersisanya program-program lama yang belum terealisasi, tentu format anggarannya sangat tidak masuk akal. Hal ini seperti yang diutarakan oleh seorang intelektual muda Aceh, Bisma Yadhi Putra dalam opininya, dimana dia mengatakan bahwa kebijakan yang dilakukan oleh para legislator Aceh ini sebagai kebijakan yang “Memang Pungo”. (Serambi, 17/11/2015).

Lalu, dibidang pemanfaatan sumber daya, Pemerintah Aceh juga memperlihatkan “ketidakperkasaannya”. Dengan letak geografisnya yang berada dijalur sutra, berhadapan dengan samudra fasifik, yang setiap hari dilintasi oleh kapal-kapal besar dunia, seharusnya pemerintah Aceh harus berupaya untuk bisa menjadikannya sebagai pundi-pundi penghasilan daerah. Pemerintah bisa membuat pola administratif kemaritiman yang bagus, seperti membangun pelabuhan yang berstandar Internasional, mnyediakan jasa perbaikan kapal, penjualan bahan bakar minyak, dan lain sebagainya dengan memamfatkan jalur sutra laut. Tapi pemerintah selama ini hanya beretorika saja, belom kelihatan aksi realnya. Seandainya saja pemerintah Aceh mau berbuat seperti yang dilakukan oleh pemerintah Singapura, memodifikasi pelabuhan sebagus mungkin agar setiap kapal besar yang melintasi selat malaka bersedia untuk singgah dipelabuhannya, tentu saja kita akan melihat Aceh yang makmur dan sejahtera. Tidak akan banyak lagi angka kemiskinan yang ada di Aceh, tidak akan banyak lagi pengangguran di Aceh, karena lapangan kerja sudah bertambah.

***
Daftar Pustaka

https://id.wikipedia.org/wiki/Administrasi
http://aceh.tribunnews.com/2015/11/17/memang-pungo

Tidak ada komentar untuk "Analisa Administrasi Pemerintahan Aceh"